Sebagai orangtua, bagaimana Kompasianer menilai razia cukur rambut yang biasa terjadi di sekolah? Apakah setuju jika itu kerap dilakukan oleh guru kepada murid?
Jika tidak, prosedur seperti apa yang sekolah bisa lakukan untuk mendisiplinkan rambut agar tampak rapi? Akan tetapi, kalau memang Kompasianer setuju, apakah dengan razia cukur rambut bisa membuat murid jera?
Belum lama ini viral sebuah rekaman seorang guru di Lamongan yang melakukan razia cukur rambut belasan siswi karena tidak mengenakan ciput atau bagian dalam kerudung. Masih ada lagi kasus serupa di Samosir, tapi kepada siswa SMP laki-laki yang dicukur gundul hanya di bagian tengah kepala.
Dan memang kasus pencukuran rambut ini biasa terjadi untuk siswa laki-laki. Mungkin tidak ada maksud memanjangkan rambut, tapi karena sudah tahu caranya berpenampilan, sehingga ingin memodelkan rambut mereka sebagus mungkin.
Naasnya, guru langsung bertindak dan siswa tidak bisa mengelak.
Oleh karena itu pula orangtua murid yang terjaring razia melayangkan protes kepada pihak sekolah. Meski akhirnya berujung damai, bukan tidak mungkin hal-hal serupa terjadi di kemudian hari, kan?
Nah, yang jadi pertanyaan bersama adalah memangnya guru diperbolehkan bertindak seperti itu kepada murid? Lalu, sebenarnya apa yang ingin sekolah tuju dengan melakukan razia cukur rambut ini?
Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai tindakan razia cukur rambut di sekolah? Kalaupun memang ingin dilakukan, prosedur seperti apa yang bisa dilakukan pihak sekolah agar tidak terjadi tindakan kesewenangan yang mengatasnamakan pendisiplinan?
Apakah sulit dan berat bagi guru untuk menghubungi langsung kepada wali murid yang bersangkutan, misalnya, untuk mengomunikasikan perihal kerapian rambut di sekolah?
Silakan tambah label Razia Cukur Rambut (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.