Menurut Kompasianer, apa yang membuat serapan APBD selalu rendah tiap tahunnya? Apa yang perlu "digenjot" oleh Pemerintah Daerah supaya bisa terserap dengan baik?
Apa sesungguhnya persoalan di balik penggunaan dana APBD sehingga penyerapannya belum maksimal? Bukankah masih banyak persoalan yang perlu dibenahi dan membutuhkan pendanaan? Apakah Kompasianer merasakan dampak dari rendahnya penyebaran APBD?
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro menyoroti capaian realisasi anggaran, salah satunya realisasi pendapatan tingkat kabupaten/kota yang baru 43,21 persen per 21 Juli 2023.
Selain realisasi pendapatan yang rendah, realisasi belanja di tingkat kabupaten/kota juga baru 35,41 persen. Tapi, hal yang paling mencengangkan: anggaran yang tertunda untuk dibelanjakan nilainya sekitar Rp 250 triliun.
Mungkin selama pandemi COVID-19 bisa kita pahami, karena pejabat daerah hampir tidak ada yang melakukan perjalanan dinas. Namun, sekarang, kenapa pendapatan dan/atau belanja daerah tetap rendah?
Menurut Kompasianer, apa saja yang perlu dibenahi dari provinsi tempat tinggalmu dan bisa menjadi lahan serapan APBD? Misalnya pengadaan BRT, pembenahan infrastruktur, atau penurunan angka stunting.
Jika para pejabat daerah ini membaca, apa yang Kompasianer ingin usulkan supaya APBD dapat dibelanjakan secara efektif dan tepat sasaran?
Silakan tambah label Serapan APBD (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H