Apakah Kompasianer pernah merasakan sulitnya mencari lahan permakaman saat membantu persemayaman sanak keluarga/tetangga? Apa yang menjadi kendala? Harganya yang mahal, kompleks permakaman yang penuh, lokasinya yang jauh, atau sulitnya birokrasi?
Kita tidak bisa memungkiri ini: lahan permakaman memang itu-itu saja, sedangkan pertumbuhan populasi kita kian cepat. Ketika lahan permakaman menipis, masyarakat banyak memilih untuk mengubur jenazah di atas makam lain (metode tumpang).
Masalah permakaman tidak berhenti sampai situ. Selain harganya yang kian melambung, praktik pemesanan membuat orang lain kesulitan menemukan lahan kosong.
Kompasianer, lahan permakaman seperti apa yang selama ini dicari? Yang dikelola pemda, swasta, atau permakaman di kampung? Berapa budget yang harus disiapkan? Birokrasi seperti apa yang dihadapi? Adakah iuran yang harus dibayar secara berkala? Berapa nominalnya?
Pada sejumlah wilayah Indonesia, pihak keluarga sampai membuat kompleks permakaman sendiri di dekat rumah. Apakah keluarga Kompasianer salah satunya? Bagaimana cara mendapatkan izin dan cara pengelolaannya?
Adakah kendala atau pengalaman menarik seputar fenomena ini yang ingin Kompasianer ceritakan? Adakah Kompasianer yang mewakafkan tanah untuk lahan permakaman?
Kompasianer bisa ceritakan itu semua dengan menambahkan label Lahan Makam (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H