Sejauh mana Kompasianer mengikuti jalannya RUU Perampasan Aset? Adakah urgensinya saat ini untuk disahkan segera?
Pasalnya ini bukan waktu yang sebetar, RUU yang disiapkan sejak 2012 itu selalu "gagal masuk" ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
Meski bukan solusi utama, paling tidak dengan disahkannya RUU Perampasan Aset bisa menjawab kasus yang marak belakangan ini: peningkatan kekayaan pejabat yang asal-usulnya ditengarai tidak sah dan mencurigakan.
Sebelum itu, mari kita ilustrasikan bersama betapa besarnya kerugian negara akibat korupsi, tapi sistem hukum pemidanaan korupsi belum mampu mengembalikan seluruh kerugiannya.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan jumlah kerugian keuangan negara akibat korupsi pada 2020 mencapai Rp 56,7 triliun.
Sedangkan di sisi lain uang pengganti yang dikabulkan oleh hakim dalam putusannya hanya berkisar Rp 8,9 triliun.
Bukan hanya itu, RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang atau mendorong penyempurnaan UU Tipikor. Apalagi dengan kemungkinan memasukkan ketentuan illicit enrichment(kekayaan tidak sah) sebagai delik korupsi, juga ketentuan-ketentuan lain.
Ketentuan illicit enrichment, seperti dikutip Kompas.id, dengan metode pembuktian terbalik akan menjadi instrumen paling ampuh untuk menindaklanjuti ketidakwajaran kekayaan pejabat publik.
Lantas, apa harapan Kompasianer mengenai urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset? Jika sudah diterapkan, bagaimana pemanfaatan aset yang sudah disita? Apakah sebaiknya dilelang, ataukah dimanfaatkan untuk kepentingan umum?
Bila tidak disahkan, apakah kita akan selalu mewajarkan penambahan kekayaan para pejabat yang kerap kita lihat ini bukan sebagai pelanggaran hukum?