Kompasianer, pernah menemukan orang yang melakukan atau mengalami Quiet Quitting dan Quiet Firing di dunia kerja? Atau, justru kamu sendiri yang mengalaminya?
Kini ada dua istilah baru yang kerap dibahas banyak orang di media sosial: Quiet Quitting dan Quiet Firing.
Dikutip dari KOMPAS.com, quiete quitting adalah tindakan bekerja seperlunya sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh.
Tindakan ini bisa jadi adalah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap tuntuntan tinggi perusahaan. Banyak anak muda beranggapan bahwa yang terpenting adalah kesehatan mentalnya, sehingga tak perlu bekerja berlebihan seperti generasi pendahulunya.
Sedangkan tindakan quiet firing adalah sikap perusahaan yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiete quitting. Yakni dengan mendiamkan karyawan yang hanya menunjukkan performa seperlunya dengan tidak melibatkannya dalam proyek dan promosi.Â
Tanpa prospek dan apresiasi, perusahaan berharap supaya karyawan tersebut mengundurkan diri dengan sendirinya. Dan kesempatan lebih baik akan diberikan kepada karyawan yang lebih menunjukkan totalitas dalam bekerja.Â
Quiet quitting maupun quiet firing adalah fenomena yang sesungguhnya dapat dijembatani dengan pola komunikasi yang baik. Satu pihak dapat menginformasikan kesulitannya dalam bekerja, sedangkan kantor dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap karyawan bersangkutan.Â
Kompasianer, apakah gejala keduanya terjadi di tempat kerjamu? Bagaimana cara menginspirasi karyawan supaya tetap bersemangat menjalani tugasnya? Sebaliknya, bagaimana idealnya perusahaan memperlakukan karyawan?
Yuk bahas tentang tema ini. Silakan tambah label Quiet Quitting (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H