Selama pandemi, kita jadi lebih terbiasa belanja online dan membeli makanan pesan-antar. Kompasianer, pernahkah kamu terpikir berapa limbah yang tercipta dari aktivitas tersebut?
Berapa banyak bubble wrap yang kita buang setiap bulannya? Berapa kilo plastik, wadah styrofoam dan limbah kertas yang kita hasilkan sejak rajin belanja lewat merketplace? Apakah kamu memfungsikan kembali limbah tersebut?
Memang. Dua tahun belakangan, belanja online menjadi pilihan lantaran lebih aman, praktis, dan efisien. Lalu pada tahun 2020 LIPI menerbitkan studi "Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di kawasan Jabodetabek".
Hasil studi menyebutkan terjadi peningkatan persentase belanja online dan layanan pesan-antar sejak PSBB. Dari yang sebelumnya hanya 1-5 kali dalam sebulan, menjadi 1-10 kali selama PSBB/WFH, terutama di Jabodetabek.
Yang perlu dicermati, 96% paket biasanya dibungkus dengan bubble wrap dan plastik pelapis. Hanya beli satu mouse untuk kerja, tapi kemasannya "kelewat safety" hingga digulung oleh bubble wrap setengah meter.
Menyadari lonjakan limbah dari belanja online, kini pengusaha sudah mulai menggunakan pembungkus yang lebih ramah lingkungan. Contohnya koran bekas, guntingan kertas, kertas "honeycomb", kardus, kain, bahkan daun!
Ada pula brand yang mengunggah kiat-kiat memanfaatkan kemasan produk untuk fungsi yang lain. Atau mengimbau pembelinya untuk bijak berbelanja.
Kompasianer, mendukung program G20 pemerintah Indonesia untuk menciptakan lingkungan berkelanjutan, bagaimana pendapatmu mengenai isu ini? Kontenmu akan bermanfaat bagi Indonesua sebagai tuan rumah Presidensi G-20.
Apa yang biasanya kamu lakukan untuk bijak berbelanja online supaya limbahnya terkontrol? Adakah upayamu suka mentok di tengah jalan? Mungkin terkendala SOP pengusaha yang tetap mengirimkan paket dengan kemasan plastik yang tebal?
Yuk, bagikan opini atau kiat-kiat ala kamu dalam berbelanja online sadar lingkungan. Sertakan label Belanja Sadar Lingkungan.