Kompasianer, pernahkah kamu merasa terpaksa menyisihkan uang untuk membayar beberapa layanan yang sebenarnya tidak kamu butuhkan?
Contohnya: memberi uang kepada Pengamen yang menghampiri, membayar jasa membersihkan kaca mobil di lampu merah, jasa hiburan Badut Marsha di pinggir jalan, "Pak Ogah" di putaran balik, atau jasa Kang Parkir di minimarket.
Beberapa hari lalu sempat viral di Twitter unggahan foto spanduk bertuliskan "Parkir Gratis" di depan minimarket sebagai tanda bahwa Kang Parkir yang bertugas di lokasi tersebut bukanlah petugas resmi.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa tak semua orang mengharapkan kehadiran penyedia jasa yang telah disebutkan di atas.
Tanpa Pak Ogah pun, mungkin kita merasa bisa memutar balik kendaraan kita secara mandiri. Dan mungkin ada yang malah merasa terganggu dengan kehadiran Pengamen yang mengganggu makan siang di warung.
Tapi, di lain sisi, pekerja informal ini juga tak jarang sangat membantu. Kang Parkir juga bersedia membawakan barang bawaan kita. Bahkan menutupinya dari hujan dan berjaga-jaga supaya motor kita tidak dicuri orang.
Seorang warganet di Twitter juga mengatakan bahwa munculnya pekerja informal ini adalah akibat keterimpitan hidup dan minimnya kesempatan kerja. Justru profesi darurat tersebut adalah wujud kreativitas yang dapat menyelamatkan banyak keluarga.
Bagaimana tanggapan Kompasianer atas fenomena pekerja informal ini? Apakah Kompasianer bersedia menyisihkan rezeki untuk membayar jasa-jasa tersebut? Pernah punya pengalaman yang menarik?
Silakan tambah label Pekerja Informal (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.