Pemberitaan mengenai Saipul Jamil setelah dibebaskan dari penjara dan diundang di televisi nasional mendapat respon beragam masyarakat.
Dampaknya, muncul petisi yang sudah ditandatangani lebih dari 200 ribu orang menolak agar Saipul Jamil tidak lagi tampil di televisi hingga YouTube.
Cancel Culture. Demikian banyak orang memberi istilah pada tindakan "boikot" Â karena tidak merasa sepakat pada individu tertentu.
Tak hanya Saiful Jamil, netizen Indonesia juga beberapa kali menyatakan "cancel" pada sejumlah figur publik di Indonesia. Contohnya Awkarin dan Jeffry Nichol.
Meski dapat berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial (terutama bagi pelaku pelecehan seksual dan pelanggar hukum lainnya), budaya "cancel" yang berawal dari Negeri Paman Sam ini sayangnya memiliki risiko.
Di antaranya, risiko penghakiman yang menjurus ke perundungan online. Selain itu, dapat pula menggiring opini sehingga banyak orang sekadar ikut-ikutan. Dan yang paling parah: bisa salah sasaran.
Padahal, dampak budaya cancel ini amatlah besar. Mulai dari gangguan mental hingga kehilangan mata pencaharian.
Bagaimana tanggapan Kompasianer atas budaya pemboikotan ini? Setuju atau tidak? Bagaimana sebaiknya kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Apakah punya pengalaman mengenai hal tersebut?
Silakan tambah label Cancel Culture (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.