Kompasianer, bagaimana caramu mengungkapkan kritik dan aspirasi terhadap penyelenggaraan negara? Lewat demonstrasi, beropini di media sosial, tulisan, atau lewat karya seni?
Beberapa hari ini tersiar kabar bahwa terjadi penghapusan mural di sejumlah daerah oleh aparat setempat. Dalam mural tersebut termuat kritik sosial dan gambar mirip presiden.
Sosiolog Unair Prof. Bagong Suyanto menilai mural merupakan seni alternatif yang sudah umum digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Akan tetapi, tidak semestinya turut melibatkan simbol negara (gambar presiden).
Berbeda dengan Prof Bagong, mengacu pada UU No 24 Tahun 2009, Dosen Hukum Tata Negara Agus Riewanto mengatakan, Presiden bukan simbol negara.
Karenanya, pembuat mural tidak bisa dipidana. Hanya, berkemungkinan melanggar Perda Ketertiban Umum di daerah tertentu. Selain juga tidak etis secara norma.
Kompasianer, merayakan HUT 76 RI, bagaimana pendapatmu mengenai kebebasan berekspresi di Indonesia? Sebagaimana kita ketahui, setiap negara memiliki koridornya tersendiri mengenai hal tersebut.
Apakah etika yang perlu diindahkan? Apakah demokrasi berarti dapat bertindak sebebas-bebasnya? Bukankah ada hukum yang meregulasi kebebasan tersebut? Bagaimana semestinya aparat negara menyikapinya?
Kompasianer berikan opinimu konstruktifmu tentang topik ini. Kompasianer diaspora pun juga dapat memberi contoh bagaimana kebebasan berekspresi di negara tempatnya tinggal sekarang.
Beri label Seni untuk Kritik (tanpa spasi) pada setiap konten yang dibuat.