Ternyata tingginya angka pernikahan (dini) ketika pandemi berbanding lurus dengan angka kasus perceraian yang terjadi.
Untuk wilayah Jawa Barat, misalnya, jadi penyumbang angka perkawinan di bawah umur tertingi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembagunan Nasional Tahun 2020. Akan tetapi, khusus di Kabupaten Bandung, pada Juni 2020 jumlah gugatan cerai melampaui angka 1.012 kasus.
Mengutip pandangan dari Pengajar Studi Antropologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Budi Rajab mengungkapkan ada sejumlah faktor yang mendasari adanya sebuah perceraian. Salah satunya yakni dari sisi ekonomi.
Namun, lanjutnya seperti dikutip dari Kompas.com, faktor lain yang mendasari suatu pasangan memilih untuk bercerai karena ada keberanian dari pihak istri untuk lebih bersuara.
"Ada keberanian dari pihak istri untuk lebih bersuara dan mandiri secara ekonomi. Perlu diperhatikan, kemandirian ekonomi keluarga yang berpusat pada perempuan, ekonominya harus menguat dan diperkuat," lanjutnya.
Bagaimana tanggapan Kompasianer atas fenomena (?) ramainya istri yang meminta cerai ini? Jika perceraian bukan solusi, apa yang bisa menjadi pertimbangan dalam mempertahankan hubungan?
Sila sampaikan opini maupun gagasannya terkait topik berikut dengan menambahkan label Ramai Kasus Perceraian (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H