Pembangunan kota tak ayal membawa implikasi tersendiri terhadap sejumlah sektor kehidupan. Salah satunya ialah perubahan pada budaya dan hak ulayat.
Ekspansi lahan untuk permukiman, shock culture, dan ketimpangan sosio-ekonomi kerap menjadi masalah ketika kebutuhan masyarakat asli dikesampingkan dan tidak dipersiapkan secara layak untuk menerima rencana pembangunan. YLBHI sendiri menunjukkan data bahwa sepanjang 2019, 51 anggota masyarakat adat mengalami kriminalisasi.
Polemik tentang hak masyarakat adat juga perlu diperhatikan pada rencana pemindahan Ibu Kota ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Utara. Modernitas idealnya dirayakan sama gempitanya dengan lembaga adat suku setempat.
Belum lagi keistimewaan hutan adat yang seharusnya dihormati tak hanya sebagai harta leluhur, tetapi juga  paru-paru dunia.
Hak masyarakat Adat sesungguhnya diperkuat oleh undang-undang. Dalam Pasal 18B dinyatakan bahwa, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kompasianer, Anda memiliki pengalaman berinteraksi dengan masyarakat adat atau turut menjaga eksistensinya? Atau apakah Anda memiliki usulan bagaimana seharusnya diskusi pembangunan dengan masyarakat adat dilakukan?
Bagikan kisah dan opinimu tersebut dalam rangka Hari Hak Masyarakat Adat Nasional yang dirayakan setiap tanggal 13 Maret dengan menambahkan label Masyarakat Adat (dengan spasi) pada setiap konten Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H