"Gimana nggak terjadi kesenjangan #pendidikan? Universitas bikin tes masuk. Saring yang pinter-pinter. Mereka dididik. Ya tambah melejitlah ninggalin yang goblok-goblok. Mestinya Universitas bikin tes agar yang pinter-pinter jangan diterima, suruh mereka belajar sendiri. Yang goblok-goblok yang dididik," demikian kicauan Budayawan Sudjiwo Tedjo di akun Twitter pribadinya yang diikuti tagar Hari Pendidikan Nasonal.
Jika bicara soal pendidikan di Indonesia, memang tidak akan habis. Segala permasalahan akan muncul dalam pembahasan ini seperti masalah pemerataan, fasilitas, dan kemudian berujung pada kesenjangan pendidikan. Dan melihat kicauan budayawan Sudjiwo Tedjo rasanya ada benar.
Pendidikan kita masih belum juga setara. Mereka yang pintar, atau minimal beruang, dengan mudah bisa mengakses pendidikan. Tapi yang tidak, mereka begitu sulit mendapatkannya.
Dari total anggaran belanja sebesar Rp 2.220 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah telah mengalokasikan Rp 444,131 triliun untuk pendidikan. Tapi kesenjangan hingga ini masih tampak jelas.
Dilihat dari biaya sekolah swasta yang terlampau mahal, masyarakat banyak berharap pada sekolah negeri. Namun, itu pun belum selesai. Meski ada yang sudah menggratiskan, masih banyak siswa dimintai biaya macam-macam.
Padahal, sejatinya sekolah adalah tempat untuk mendidik para anak bangsa. Bukan malahan menjadi ajang meraup laba dari anak pintar.
Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Momen mesti menjadi titik balik yang tepat untuk menggedor kesadaran kita akan pentingnya pendidikan bagi bangsa.
Kompasianer, Anda memiliki ulasan, opini ataupun pengalaman pribadi tentang kesenjangan pendidikan di sekitar Anda? Sampaikan di Kompasiana dengan menyertakan label: Hardiknas 2018 (tanpa spasi) pada artikel Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H