Cukup sudah sepertinya politik mengidentitaskan kita. Juga bubur ayam --diaduk atau tidak. Biarlah pilihan kopi yang hendak kita minum sebagai opsi mencari ketenangan. Jika memang ada kopi gilingan, bagus; kalaupun hanya ada kopi yang digunting (baca: sachet) tak apa. Toh, pada akhirnya kopi sebagai komoditi ekonomi, penggerak segala lini kehidupan, bukan penggolongan kelas --atau selera.
Dulu misalnya, kita bisa bersedih hanya karena rumor berhentinya produksi kopi Liong Bulan khas Bogor. Itu seakan menandakan kalau kopi yang "digunting" bisa merenggut sisi emosional yang berlebih. Apa pernah kita menangisi gilingan kopi yang rusak?
Namun, bukan berarti kopi "gilingan" tidak berharga. Kopi gilingan mulai diminat sejak kita tahu: kopi ternyata bisa diseduh selain ditubruk. Beragam cara dan metode bisa kita gunakan kala menyeduh kopi gilingan. Berbeda metode, berbeda juga rasa kopinya. Kita bisa mengetahui karakter kopi --yang ternyata tidak saja memiliki rasa pahit-- bahkan dari asal dan tempat menanamnya.
Kopi, sekali lagi, adalah satu di antara banyak cara kita untuk menenangkan diri. Tapi, apakah Kompasianer punya pilihan atau cara sendiri dalam memilih kopi? Entah itu digiling atau digunting. Yuk, ceritakan kenikmatan meminum kopi dengan menambakan label pada setiap artikel: Cerita Kopi (tanpa spasi).Â
Ikuti juga Pro-Kontra tentang kopi giling dan gunting di sini: Kopi saset bukan untuk pecinta kopi sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H