Keanekaragaman yang ada di Indonesia tidak hanya menimbulkan persaudaraan yang mengikat, melainkan juga tak jarang bahkan sampai menimbulkan konflik. Dalam dua tahun kepemimpinan presiden Jokowi, pemerintah masih menaruh perhatian yang cukup serius pada masalah antarsuku dan umat beragama.
Contoh yang beberapa bulan lalu terjadi adalah kerusuhan yang disebabkan oleh persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kasus SARA memang sangat sensitif dan yang paling sulit untuk dihindarkan. Sikap intoleransi masih menjadi sebuah ujian berat bagi kerukunan antarsuku dan umat beragama.
Melihat kembali persoalan intoleransi yang baru terjadi pada bulan Juli lalu di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, dikutip dari Kompas.com, kerusuhan ini menyebabkan sembilan rumah ibadah milik umat Buddha rusak hingga terbakar. Kala itu Jokowi mengatakan bahwa pemerintah dan aparat langsung bertindak cepat untuk mengatasi kerusuhan.
Mereka langsung turun ke lapangan untuk menyelesaikan kasus ini. Tak luput juga kepolisian mengumpulkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat sehingga isu SARA yang beredar tidak sampai menyebar kemana-mana. Jokowi menambahkan bahwa tindakan anarkis sampai main hakim sendiri seperti ini harus cepat dihilangkan. Jika tidak, masalah antaragama seperti ini tidak akan pernah selesai. Padahal Indonesia sangat beragam suku dan agamanya.
Pada kasus Tanjungbalai, peredaman situasi kerusuhan berlangsung cukup cepat. Pasalnya, pengamanan tidak hanya dilakukan oleh Polres Tanjungbalai, tetapi dibantu oleh 100 personel dari Polres Asahan, 30 personel Polres Batubara, dan 75 personel Satuan Brimob yang bermarkas di Tebing Tinggi. Selain itu dibantu juga oleh TNI dari Kodim 0208/Asahan dan Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Tanjungbalai. (sumber)
Selama proses perbaikan situasi pascakerusuhan, pihak kepolisian juga terus berkoordinasi dengan para tokoh masyarakat dan tokoh agama agar bisa saling bekerjasama untuk menciptakan situasi yang kondusif.
Di sisi lain, dikutip dari Kompas.com, penyebab terjadinya kerusuhan Tanjungbalai menurut Komnas HAM salah satunya adalah distorsi informasi yang disebarkan oleh oknum tertentu. Hal ini dilakukan untuk memprovokasi kelompok tertentu. Provokator tersebut ingin kelompok itu membenci kelompok lain sehingga menciptakan konflik.
Di samping itu, menurut Komnas HAM, untuk ke depannya pemerintah sebaiknya melakukan reintegrasi sosial antarsuku dan antaragama pascakerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai ini. Hal itu penting dilakukan mengingat peristiwa seperti serupa tidak hanya terjadi satu kali.
"Proses reintegrasi sosial harus dipimpin oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di Tanjungbalai," ujar Komisioner Komnas HAM, Pigai, saat memberikan keterangan di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2016) seperti yang dikutip dari kompas.com
Proses reintegrasi tersebut merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah demi menjamin rasa aman untuk seluruh masyarakat serta memastikan kejadian serupa tidak akan terulang kembali di masa mendatang.
Tindakan lain yang bisa dilakukan pemerintah pusat atau daerah lain adalah mengusut cepat serta memutus rantai komunikasi yang bisa kembali memicu konflik serta kerusuhan berbau SARA. Ini dilakukan tidak hanya demi kedamaian Tanjungbalai, tetapi juga untuk daerah lain yang berpotensi timbulnya konflik.