"Pungli bisa terjadi juga karena tidak ada sarana untuk kita mengadu secara langsung dan menindaklanjuti saat itu juga," ujar Didi.
Ia memberi contoh, salah satunya adalah di BPTSP DKI Jakarta yang justru tidak ada tindakan pungli. Bahkan ada nilai plus di mana saat berkas yang diajukan telah selesai diproses, petugas setempat mengirimkan pada alamat rumah yang mengajukan.
"Tidak ada pungli malah, justru ada nilai tambah yang diberikan," tambah Didi.
Bukan hanya Didi, Kompasianer Octavian pun menyatakan senada. Ia optimistis bahwa sistem pelayanan dan birokrasi onlineke depannya dapat memperkecil kemungkinan adanya pungutan liar. Namun menurutnya, pemerintah khususnya pengelola sistem harus terus memperbaiki diri agar tidak kecolongan.
"Seharusnya kalau sudah onlinekemungkinan untuk adanya pungli jadi lebih kecil. Kecuali kalau sistemnya hanya akal-akalan saja dan masih bisa diintervensi prosesnya sehingga tidak transparan," tulis Octavian.
Kendati demikian, pemerintah akan terus gencar membuat dan memperbaiki sistem pelayanan berbasis online. Bahkan Menteri Kemenkumham Yasonna Laoly pun menyatakan nantinya seluruh layanan publik harus menggunakan sistem ini.
"Tindakan keras juga harus dilakukan, ini sikap kami. Saya kira bangsa ini harus sudah berubah termasuk reformasi dalam pelayanan publik," kata Yasonna dikutip dari Kompas.com
Memang, sekecil apapun pungli harus diberantas. Karena berapa pun nominalnya tindakan ini adalah bagian dari korupsi dan ini harus diberantas sampai ke akarnya.
(YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H