[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"][/caption]Dari esai yang dibuat Zen RS dengan judul "Karena Setiap Tulisan yang Dipublikasikan adalah Sebuah Surat yang Terbuka", kita akan memahami bahwa setiap tulisan mampu memulai sebuah gerakan. Surat terbuka, yang belakangan booming tersebut, adalah satu dari sekian banyak upaya melawan dengan cara menulis. Esai tersebut juga memaparkan banyak contoh, tidak hanya surat terbuka memang, seperti halnya esai “Als Ik eens Nederland Was” yang dianggit RM. Soerwadi Soerjadiningrat dan syair “Sama Rasa dan Sama Rasa” oleh Mas Marco Kartodikromo.
Untuk bisa menjelaskan surat terbuka dengan sederhana, Zen RS mengingatkan kalau surat terbuka tak ayal sebuah surat pembaca yang sering kita jumpai di koran. Mungkin dari sanalah cara termudah untuk melayangkan keluh-kesah terhadap yang-jauh-lebih-besar. Sebab surat terbuka, masih dari esai yang dimaksud, surat terbuka menyediakan kemungkinan menyatakan sikap, pikiran, dan (karenanya juga) tindakan menolak apa yang dialaminya.
Banyak. Banyak sekali cara-cara yang bisa kita lakukan lewat menulis surat terbuka atau apa pun jenisnya. Barangkali kita juga akan mendapati hal serupa saat terjadi aksi teror di Jakarta (14/1) satu bulan lalu.
Ketika teror yang berlangsung, secara tidak sadar kita tergerak: tanpa tahu siapa yang mulai atau siapa yang mengomandoi. Kita melawan segala ketakutan aksi teror dengan menulis. Menceritakan apa saja dari sudut yang beragam. Sekejap banyak tagar bermunculan; KamiTidakTakut, SafetyCheckJakarta dan lainnya.
Dari kabar burung mengenai banyak terjadi aksi teror yang menyebar di beberapa titik di Jakarta, seakan lewat begitu saja. Mereka, kita, seluruh bangsa Indonesia melawan balik ketakutan dengan menyebarkan keberanian. Oleh karenanya, berikut kami rangkum beberapa tulisan terkait aksi teror Jakarta. Bisa juga dibaca tulisan lainnya terkait topik Teror Bom di Jakarta.
1. Ledakan Itu Membuyarkan Kerja di Kantorku
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
“Tiba-tiba sekarang bunyi letusan tembak-tembakan di bawah, kami tidak bisa melihat di mana letak tembak-tembakan tersebut. Akhirnya kami turun ke bawah. Terlihat ada mayat yang terkapar.”
2. Kisah Mencekam dari Selembar Struk Starbucks Skyline Jam 10.39 (#terorJakarta)
[caption caption="Tanda terima dari Starbucks Skyline ini dicetak beberapa menit sebelum sebuah bom meledak pada hari Kamis (14/1) kemarin, sekitar pukul 10.50 WIB. (Dok. Sigit Prakasa)"]
Sekitar pukul 10.40, ia menerima struk pembelian croissant dari asistennya. Di lembar struk itu tertulis pukul 10.39 (WIB). Tiga menit berselang, pesanannya datang. Menjelang diskusi usai, barulah terdengar ledakan dari arah luar.
“Telinga saya langsung berdengung, Mas. Suara (ledakannya) kenceng banget, cerita Sigit saat dihubungi via telepon. Suasana seketika kacau. Setelah itu, pria kelahiran Semarang ini mendengar empat kali suara letusan dari arah Jalan MH Thamrin.”
3. "Serangan Sarinah" dan tentang Kita
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
“Pertama, Sarinah menjadi lokasi belanja dan juga ruang menikmati waktu luang kelas menengah urban. Kedua, Sarinah dekat dengan istana kepresidenan juga melambangkan kehadiran dari kuasa demokrasi liberal yang dirawat dari rangkai pemilu, koalisi dan oposisi politik.”
4. Wajah Kepolisian Pascateror di Thamrin
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
Kecenderungan yang terjadi, sisi buruk Polri terkesan lebih banyak dibandingkan sisi baiknya, dan ini jelas sebuah ironi yang sulit.
“Sampai kemudian, bom dan letusan senjata terjadi di Thamrin. Sederet nama dari Mabes Polri hingga Polda Metro Jaya sampai dengan aparat Polsek pun mencuat. Polisi kembali terlihat sebagai pahlawan—sekalipun masih ada saja yang meremehkan pertaruhan nyawa yang dilakukan anggota institusi tersebut.”
5. Teror Sarinah "Gagal", Teroris Diuntungkan
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
“Masyarakat masih sering menganggap bahwa ancaman teror terbesar adalah saat bom meledak. Padahal, di kehidupan sehari-hari benih radikalisme bisa diketahui. Contohnya di media sosial.”
6. Melawan Teror dengan Hashtag
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
Media sosial memiliki medium untuk menciptakan konten dan mendistribusikan informasi secara massal. Namun, media sosial juga perangkat dalam berkomunikasi dan mengungkapkan ekspresi.
“Di jam-jam awal kejadian, berseliweran saran untuk tidak menyebarkan foto atau video kejadian dan korban. Kekuatan besar #KamiTidakTakut itu lahir dari ketakutan, kemarahan dan kesedihan. Dalam teori sosial, rasa takut adalah salah satu pencetus terbesar sebuah perubahan besar di masyarakat.”
7. Ketika ISIS Harus Berhadapan dengan Tukang Sate, Polisi Ganteng dan Besan di Ciledug
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
Ade Armando sepakat bahwa pelaku teror di Jakarta kemarin gagal mencapai tujuan.
“Sambil waktu berjalan, mulai muncul pula foto-foto aksi para polisi saat melawan para teroris. Foto polisi yang muncul itu memang gagah dan nampak seperti bintang film. Maka pembicaraan di antara pengguna media sosial pun berubah menjadi sang polisi ganteng.”
8. Menghadapi Aksi Teror ISIS, Intelijen Kecolongan?
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
“Nah, khusus untuk teror di Thamrin itu, lebih kepada pembuktian kemampuan sel ISIS dalam menyampaikan pesan eksistensinya di Indonesia. Motif aksi di Thamrin selain menyampaikan pesan eksistensi, juga menurut istilah pelaku teror sebagai bentuk amaliah jihad, dengan tujuan sebagai bentuk Irhab (membuat suasana teror/menebar rasa takut bagi mereka yang dianggap musuh).”
9. Kasus Bom Sarinah, Stasiun TV Berita Harus Introspeksi Diri!
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
Nahariyha Dewiwiddie amat menyayangkan hal tersebut. Baginya, stasiun TV, apalagi yang khusus melabeli menjadi TV berita, semestinya memberi berita teraktual dan bertanggung jawab. Tragedi teror di Jakarta yang menimbulkan korban jiwa dan luka ini, menjadi berita yang penting, dan sangat penting untuk diketahui masyarakat.
“Karena itulah, dalam menyampaikan berita, stasiun TV harus memperhatikan audience-nya juga. Hargailah orang lain, terutama perasaan para korban. Sehingga, ketika sudah menyampaikan berita, eh malah membuat korban terluka hatinya. Jelas-jelas, perbuatan yang tidak baik, bukan?”
10. Berita Tak Akurat, Jangan Bilang karena Wartawan Juga Manusia
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
“Makanya saya buru-buru ke sini juga karena ingin memastikan kebenarannya kabar tersebut. Lantaran tetangga sebelah rumah, Mak Iti, setelah mendengar berita itu langsung meraung-raung sambil menyebut nama si Toto, anaknya, yang bekerja jadi tukang parkir di Slipi,” ucap salah seorang di warung kopi.
“Kalau begitu media yang mana yang layak dipercaya dengan pemberitaannya yang tepat dan akurat sesuai fakta?”
“Sebaiknya kita tunggu saja pengumuman resmi dari pemerintah. Sebab kalau datangnya dari pihak yang berwenang, tidak mungkin akan ada perbedaan lagi infomasi yang disampaikannya,“ Kang Adjat mencoba menengahi.
11. Bubarkan Ormas Radikal
[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]
Petisi yang dibuat ditujukan untuk mendesak Presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan atas eksekutif dan Polri agar membubarkan serta menindak seluruh ormas radikal yang ada di negeri ini.
“Ormas-ormas radikal ini tentu melakukan kaderisasi secara radikal pula. Mengutip pernyataan Ketua PBNU Said Aqil Siradj bahwa pembiaran terhadap radikalisme akan menumbuhsuburkan gerakan terorisme, maka bibit-bibit terorisme harus diberantas sejak dini tanpa pandang bulu.”
***
Hari itu, 14 Januari 2016, Jakarta seperti bergerak amat lambat. Sepertinya khusus di hari itu, waktu tidak sebatas 24 jam. Hari itu, Jakarta seperti tidak kenal sudah. Media terus memberitakan seharian, orang-orang ramai membincangkan; hampir tidak ada yang (tidak bisa) diam.
Hari itu juga, kita seperti kembali membaca sajak W.S. Rendra: Bulan Kota Jakarta.
“Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
Bocah pucat tanpa mainan
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, sayang di hatiku!”
Sebuah sajak yang ditulis Rendra pada tahun 1950an itu, rasa-rasanya belum berubah sama sekali. Terlebih di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2016. (HAY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H