Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

11 Cerita yang Tersisa dari Teror Bom Sarinah

13 Februari 2016   16:58 Diperbarui: 13 Februari 2016   17:00 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"][/caption]Dari esai yang dibuat Zen RS dengan judul "Karena Setiap Tulisan yang Dipublikasikan adalah Sebuah Surat yang Terbuka", kita akan memahami bahwa setiap tulisan mampu memulai sebuah gerakan. Surat terbuka, yang belakangan booming tersebut, adalah satu dari sekian banyak upaya melawan dengan cara menulis. Esai tersebut juga memaparkan banyak contoh, tidak hanya surat terbuka memang, seperti halnya esai “Als Ik eens Nederland Was” yang dianggit RM. Soerwadi Soerjadiningrat dan syair “Sama Rasa dan Sama Rasa” oleh Mas Marco Kartodikromo.

Untuk bisa menjelaskan surat terbuka dengan sederhana, Zen RS mengingatkan kalau surat terbuka tak ayal sebuah surat pembaca yang sering kita jumpai di koran. Mungkin dari sanalah cara termudah untuk melayangkan keluh-kesah terhadap yang-jauh-lebih-besar. Sebab surat terbuka, masih dari esai yang dimaksud, surat terbuka menyediakan kemungkinan menyatakan sikap, pikiran, dan (karenanya juga) tindakan menolak apa yang dialaminya.

Banyak. Banyak sekali cara-cara yang bisa kita lakukan lewat menulis surat terbuka atau apa pun jenisnya. Barangkali kita juga akan mendapati hal serupa saat terjadi aksi teror di Jakarta (14/1) satu bulan lalu.

Ketika teror yang berlangsung, secara tidak sadar kita tergerak: tanpa tahu siapa yang mulai atau siapa yang mengomandoi. Kita melawan segala ketakutan aksi teror dengan menulis. Menceritakan apa saja dari sudut yang beragam. Sekejap banyak tagar bermunculan; KamiTidakTakut, SafetyCheckJakarta dan lainnya.

Dari kabar burung mengenai banyak terjadi aksi teror yang menyebar di beberapa titik di Jakarta, seakan lewat begitu saja. Mereka, kita, seluruh bangsa Indonesia melawan balik ketakutan dengan menyebarkan keberanian. Oleh karenanya, berikut kami rangkum beberapa tulisan terkait aksi teror Jakarta. Bisa juga dibaca tulisan lainnya terkait topik Teror Bom di Jakarta.

1. Ledakan Itu Membuyarkan Kerja di Kantorku

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Kita akan memulailnya dengan sebuah kesaksian Dhodik Bimo, yang letak kantornya tidak jauh dari tempat kejadian. Semula ia menduga itu suara petir, namun tak lama terdengar suara yang lebih besar lagi. Orang-orang sekantornya sontak melongok keluar jendela. Kepulan asap putih terlihat dari arah pos polisi Sarinah.

“Tiba-tiba sekarang bunyi letusan tembak-tembakan di bawah, kami tidak bisa melihat di mana letak tembak-tembakan tersebut. Akhirnya kami turun ke bawah. Terlihat ada mayat yang terkapar.”

2. Kisah Mencekam dari Selembar Struk Starbucks Skyline Jam 10.39 (#terorJakarta)

[caption caption="Tanda terima dari Starbucks Skyline ini dicetak beberapa menit sebelum sebuah bom meledak pada hari Kamis (14/1) kemarin, sekitar pukul 10.50 WIB. (Dok. Sigit Prakasa)"]

[/caption]Isjet mewawancarai Sigit Prakasa (35), salah seorang yang ada di lokasi kejadian saat teror terjadi. Sigit Prakasa beserta beberapa orang lainnya sedang melakukan diskusi di Starbucks Coffee Skyline dari sekitar pukul sembilan.

Sekitar pukul 10.40, ia menerima struk pembelian croissant dari asistennya. Di lembar struk itu tertulis pukul 10.39 (WIB). Tiga menit berselang, pesanannya datang. Menjelang diskusi usai, barulah terdengar ledakan dari arah luar.

“Telinga saya langsung berdengung, Mas. Suara (ledakannya) kenceng banget, cerita Sigit saat dihubungi via telepon. Suasana seketika kacau. Setelah itu, pria kelahiran Semarang ini mendengar empat kali suara letusan dari arah Jalan MH Thamrin.”

3. "Serangan Sarinah" dan tentang Kita

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Sudah lama disebutkan jika selain ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal, kini terorisme adalah tenaga dorong sejarah yang meminta diperhatikan, tulis S. Aji dalam esainya terkait teror Jakarta. Dalam esai itu, S. Aji melihat bahwa lokasi Sarinah, tempat di mana teror itu terjadi bisa dilihat sebagai adalah panggung kecil. Ada dua hal yang membuatnya demikian.

“Pertama, Sarinah menjadi lokasi belanja dan juga ruang menikmati waktu luang kelas menengah urban. Kedua, Sarinah dekat dengan istana kepresidenan juga melambangkan kehadiran dari kuasa demokrasi liberal yang dirawat dari rangkai pemilu, koalisi dan oposisi politik.”

4. Wajah Kepolisian Pascateror di Thamrin

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Zulfikar Akbar mengingatkan: pahlawan tak pernah meminta untuk digelari sebagai pahlawan. Keberhasilan itu yang didapati oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membuat mereka menjadi pahlawan, setidaknya, setelah mereka menumpas pelaku teror di kawasan Thamrin.

Kecenderungan yang terjadi, sisi buruk Polri terkesan lebih banyak dibandingkan sisi baiknya, dan ini jelas sebuah ironi yang sulit.

“Sampai kemudian, bom dan letusan senjata terjadi di Thamrin. Sederet nama dari Mabes Polri hingga Polda Metro Jaya sampai dengan aparat Polsek pun mencuat. Polisi kembali terlihat sebagai pahlawan—sekalipun masih ada saja yang meremehkan pertaruhan nyawa yang dilakukan anggota institusi tersebut.”

5. Teror Sarinah "Gagal", Teroris Diuntungkan

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Ada tiga hal yang menjadi perhatian Hendra Wardhana atas aksi “gagal” tindakan teror di Thamrin. Pertama, keberanian atau kedewasaan; sebab yang menjadi perhatian adalah hanya di Indonesia serangan teror jadi tontonan. Kedua, eksploitasi tanda pagar; Teroris akan menganalisis dan menemukan bahwa ada kelemahan nyata yang bisa dieksploitasi dari tanda-tanda pagar di atas. Ketiga, ketidakkompakan aparat dan masyarakat; bila pihak aparat sepakat bahwa aksi teror tejadi kelengahan, masyarakat juga.

“Masyarakat masih sering menganggap bahwa ancaman teror terbesar adalah saat bom meledak. Padahal, di kehidupan sehari-hari benih radikalisme bisa diketahui. Contohnya di media sosial.”

6. Melawan Teror dengan Hashtag

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Keriuhan di media sosial nasional datang bak tsunami sesaat setelah bom meledak, tulis Hilman Fajrian. Seperti yang sempat disampaikan di awal, berbagai hashtag yang menandai topik percakapan langsung bermunculan dalam banyak bentuk.

Media sosial memiliki medium untuk menciptakan konten dan mendistribusikan informasi secara massal. Namun, media sosial juga perangkat dalam berkomunikasi dan mengungkapkan ekspresi.

“Di jam-jam awal kejadian, berseliweran saran untuk tidak menyebarkan foto atau video kejadian dan korban. Kekuatan besar #KamiTidakTakut itu lahir dari ketakutan, kemarahan dan kesedihan. Dalam teori sosial, rasa takut adalah salah satu pencetus terbesar sebuah perubahan besar di masyarakat.”

7. Ketika ISIS Harus Berhadapan dengan Tukang Sate, Polisi Ganteng dan Besan di Ciledug

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Barangkali ini yang membuat media sosial mendadak ramai dan serentak melawan: teror berlangsung, sedangkan di lokasi kejadian banyak hal-hal yang di luar dugaan; tukang sate menggelar dagangan di sana, tukang kacang, tukang buah yang sedang menjajakan dagangannya di dekat lokasi pengemboman.

Ade Armando sepakat bahwa pelaku teror di Jakarta kemarin gagal mencapai tujuan.

“Sambil waktu berjalan, mulai muncul pula foto-foto aksi para polisi saat melawan para teroris. Foto polisi yang muncul itu memang gagah dan nampak seperti bintang film. Maka pembicaraan di antara pengguna media sosial pun berubah menjadi sang polisi ganteng.”

8. Menghadapi Aksi Teror ISIS, Intelijen Kecolongan?

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Polisi merilis bahwa dari korban tewas empat di antaranya adalah para pelaku. Dalam pengejaran selanjutnya, Densus 88 berhasil menangkap 18 orang. Enam orang terlibat langsung dengan bom Thamrin. Mereka ditangkap di beberapa lokasi. Namun, bagi Prayitno Ramelan, teror di Thamrin masih terbilang lebih kecil dari aksi teror sel ISIS yang terjadi di Paris hari Jumat, 13 November 2015.

“Nah, khusus untuk teror di Thamrin itu, lebih kepada pembuktian kemampuan sel ISIS dalam menyampaikan pesan eksistensinya di Indonesia. Motif aksi di Thamrin selain menyampaikan pesan eksistensi, juga menurut istilah pelaku teror sebagai bentuk amaliah jihad, dengan tujuan sebagai bentuk Irhab (membuat suasana teror/menebar rasa takut bagi mereka yang dianggap musuh).”

9. Kasus Bom Sarinah, Stasiun TV Berita Harus Introspeksi Diri!

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Terkait kasus teror di Jakarta, KPI menegur tujuh stasiun TV dan satu stasiun radio karena ceroboh dalam menayangkan berita dengan berbagai cara. Di antara ketujuh stasiun TV tersebut, ada tiga stasiun TV yang notabenenya stasiun televisi berita, yaitu Metro TV, TV One, dan iNews TV.

Nahariyha Dewiwiddie amat menyayangkan hal tersebut. Baginya, stasiun TV, apalagi yang khusus melabeli menjadi TV berita, semestinya memberi berita teraktual dan bertanggung jawab. Tragedi teror di Jakarta yang menimbulkan korban jiwa dan luka ini, menjadi berita yang penting, dan sangat penting untuk diketahui masyarakat.

“Karena itulah, dalam menyampaikan berita, stasiun TV harus memperhatikan audience-nya juga. Hargailah orang lain, terutama perasaan para korban. Sehingga, ketika sudah menyampaikan berita, eh malah membuat korban terluka hatinya. Jelas-jelas, perbuatan yang tidak baik, bukan?”

10. Berita Tak Akurat, Jangan Bilang karena Wartawan Juga Manusia

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Ada yang menarik dari “Serial Obrolan di Warung kopi” milik Kang Adjat ini. Tragedi teror di Jakarta menjadi perbincangan di mana-mana, termasuk di warung kopi. Obrolan di warung kopi menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya milik pejabat negara, tapi semua warganya!

“Makanya saya buru-buru ke sini juga karena ingin memastikan kebenarannya kabar tersebut. Lantaran tetangga sebelah rumah, Mak Iti, setelah mendengar berita itu langsung meraung-raung sambil menyebut nama si Toto, anaknya, yang bekerja jadi tukang parkir di Slipi,” ucap salah seorang di warung kopi.

“Kalau begitu media yang mana yang layak dipercaya dengan pemberitaannya yang tepat dan akurat sesuai fakta?”

“Sebaiknya kita tunggu saja pengumuman resmi dari pemerintah. Sebab kalau datangnya dari pihak yang berwenang, tidak mungkin akan ada perbedaan lagi infomasi yang disampaikannya,“ Kang Adjat mencoba menengahi.

11. Bubarkan Ormas Radikal

[caption caption="ilustrasi: ©Shutterstock"]

[/caption]Tsamara Amany sontak membuat petisi di salah satu situs ChangeOrg. Isinya, sebuah keresahan terkait ormas-ormas radikal, yang baginya sama mengerikannya dengan aksi teror. Menurutnya, memcegah agar tidak terjadi aksi kembali, jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.

Petisi yang dibuat ditujukan untuk mendesak Presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan atas eksekutif dan Polri agar membubarkan serta menindak seluruh ormas radikal yang ada di negeri ini.

“Ormas-ormas radikal ini tentu melakukan kaderisasi secara radikal pula. Mengutip pernyataan Ketua PBNU Said Aqil Siradj bahwa pembiaran terhadap radikalisme akan menumbuhsuburkan gerakan terorisme, maka bibit-bibit terorisme harus diberantas sejak dini tanpa pandang bulu.”

***

Hari itu, 14 Januari 2016, Jakarta seperti bergerak amat lambat. Sepertinya khusus di hari itu, waktu tidak sebatas 24 jam. Hari itu, Jakarta seperti tidak kenal sudah. Media terus memberitakan seharian, orang-orang ramai membincangkan; hampir tidak ada yang (tidak bisa) diam.

Hari itu juga, kita seperti kembali membaca sajak W.S. Rendra: Bulan Kota Jakarta.

“Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya

Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
Bocah pucat tanpa mainan

Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, sayang di hatiku!”

Sebuah sajak yang ditulis Rendra pada tahun 1950an itu, rasa-rasanya belum berubah sama sekali. Terlebih di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2016. (HAY)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun