Antrean panjang kendaraan roda empat yang berbahan bakar solar sudah terjadi sejak beberapa minggu yang lalu, hingga sampai hari ini. Hal ini dikarenakan telah diberlakukannya kebijakan BBM jenis solar bersubsidi dan non-subsidi.
Kebijakan tersebut menimbulkan persoalan karena penerpannya di lapangan tidak seperti apa yang sudah direncanakan. Meskipun sudah ada larangan untuk kendaraan tertentu menggunakan BBM jenis Solar bersubsidi, namun para pengemudi tetap saja ngotot dan memilih antri pada jalur BBM bersubsidi, dengan alasan harganya jauh lebih murah.
Permasalahan lain, di Stasuin SPBU pihak pengelola SPBU tidak mampu mengatur alur kendaran yang memakai BBM subsidi maupun yang BBM non-subsidi. Dan tentu saja pihak SPBU juga tidak ingin mengambil resiko menghadapi aksi protes dari para pengemudi. Pengelola SPBU juga tidak mungkin akan menanyakan satu per satu para pengemudi soal jenis dan kepemilikan kendaraan.
Pertimbangan lainnya adalah alasan bisnis. Pihak pengelola SPBU lebih memikirkan bagaimana solar yang dipasok bisa laku alias habis terjual, masa bodoh dengan jenis kendaraan apa yang mengisi BBM Solar.
Timbulnya persoalan ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang diluncurkan tidak disertai dengan mekanisme dan regulasi yang jelas dan tegas. Kebijkan yang dibauat pemerintah tersebut cenderung setengah jadi, jikalau tidak mau disebut setengah hati.
Selain itu, pemerintah seharusnya menyiapkan mekanisme yang jelas yang bisa diterapkan dengan mudah oleh pihak pengelola SPBU sebagai garda terdepan. Sebab SPBU merupakan pihak yang berhadapan langsung dengan masyarakat sebagai pengguna BBM.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah pemerintah hanya membuat dan menyeluarkan kebijakan, sedangkan dalam aplikasinya cenderung lempar bola dengan menyerahkan tanggung jawab penerapannya kepada pihak SPBU.
Dan kebijakan menempatkan aparat keamanan di SPBU bukan solusi yang tepat untuk mengatur regulasi pengisian bahan bakar solar bersubsidi maupun bahan bakar solar non-subsidi. Mengapa? Karena petugas keamanan yang di tempatkan di SPBU lebih kepada mengantipasi terjadinyya tindakan-tindakan penyimpangan seperti penimbunan BBM oleeh pihak-pihak tertentu. Sedangkan untukk mengatur kendaraan yang boleh dan di larang mengisi bahan bakar solar bersubsidi dan non-subsidi, keberadaan petugas keamanan sangat jelas tidak akan efektif.
Sebelum-sebelumnya, pemerintah juga pernah membuat kebijakan menggunakan stiker sebagai penanda bahwa kendaraan yang dimaksud tidak boleh atau dilarang mengisi BBM bersubsidi. Kendaraan itu khususnya untuk kendaraan-kendaraan berpelat merah. Namun kebijakan tersebut pada penerpannya gagal total, karena para pengemudi kendaraan berpelat meerah pun cerdik mengganti pelat merah dengan pelat hitam ketika akan mengisi BBM di SPBU.
Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut dan masyarakat terutama para pemilik kendaraan berbahan bakar solar tak terus menerus merasa dirugikan, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang realistis dan mudah di lakasanakan. Apabila hal itu belum bisa dilakukan, lebaik baik berikan saja BBM bersubsidi untuk semua kendaraan tanpa terkecuali selama dana dari negara masih mampu menanggungnya.
Dan jikalau dana APBN dianggap tidak mampu, tidak ada kebijakan yang lain, kecuali menghapus solar bersubsidi. Keputusan ini pun jelas tidak populis dan bahkan akan menuai keceman dari masyarakat.