Sampai hari ini saya masih menganggap lebaran sebagai satu ritus kultural paling penting sepanjang periode hidup saya dalam satu tahun. Boleh saja anda beranggapan saya termasuk mereka yang belum tebal imannya, karena belum sampai pada pemahaman transendental idul fitri sebagaimana menurut kitab suci. Mungkin saja anda benar. Namun bagi saya, seorang Jawa yang Islam—sebagaimana kata Gus Mus, ritus kultural lebaran membuat saya menggenapi kejawaan dan keindonesiaan saya saban tahun pada momentum paling fitri itu.
Tidak ada lebaran tanpa mudik. Sudah hampir sepuluh tahun saya menjadi perantau, dan saban tahun itu pula saya selalu mudik. Banyak yang mengatakan mudik berasal dari kata udik, satu idiom yang merepresentasikan satu kawasan di hulu dari kehidupan sungai di hilir yang kemudian identik sebagai ‘kota’. Banyak orang malu-malu mengaku sebagai orang udik, atau disebut ndeso atau betingkah katrok. Namun 16 juta orang—menurur suarasurabaya.net, atas nama tradisi, budaya, nilai-nilai keimanan, atau kolom agama di KTP, siap mati untuk pulang ke kampung halamannya. Tak peduli berapapun biayanya dan sehebat apa risikonya. Siap mati, karena tak kurang 576 pemudik--sebagaimana rilis Suara Merdeka, masuk peti mati dan dikuburkan dalam rentang H-7 dan H+7 lebaran, dari angka dua kali lipat jumlah korban tahun lalu.
Saya tidak sedang sinis dengan ritus mudik, jumlah korban, kemacetan, pemudik sepeda motor, kondektur yang nakal, atau pelayanan aparat yang jauh dari prima. Justru saya sedang merayakan kekhusukan mudik dalam hiruk pikuknya. Bagi saya mudik dan lebaran adalah satu periode yang mampu menyihir kesadaran kolektif hampir seperempat penduduk bangsa kita untuk bergegas merayakan satu momentum. Tak ada yang mau ketinggalan. Semua segi kehidupan bangsa ini harap-harap cemas, menunggu, detik per detik, kemudian tiba saatnya. Melewatinya, juga detik per detik. Tak ada momentum sekolosal mudik, dan lebaran di republik ini. Tidak 17 agustusan. Tidak juga Pemilu. Tidak ada. Tak tergantikan. Dan tak mungkin dilarang.
Mudik, dan lebaran adalah panggung. Dramaturgi pementasan polah anak manusia, menurut Erving Goffman—sekali-kali mengutip sosiolog beken, biar posting ini dianggap berkelas. Satu perwujudan konsep diri menurut Herbert Mead. Satu panggung di mana kita bisa menjadi diri sendiri, atau menjadi orang lain sebagaimana konsep citra yang kita kehendaki. Tak salah. Karena momentum itu hanya disediakan oleh mudik dan lebaran. Hendak demonstrasi kemakmuran, mempertontonkan kealiman, atau memperlihatkan keberingasan di jalan raya-tak-peduli-sedang-berpuasa pun tak apa. Soalnya siapa pula yang hendak menyalahkan. Bebas saja.
Saya selalu mengapresiasi mudik, lebaran, dan semua polahnya. Bagi saya polah-polah ini tak perlu disesali, justru ketiadaannya mengurangi makna mudik dan lebaran. Saya selalu resah, berdebar-debar, harap-harap cemas, menunggu, menghitung detik, melewatinya, dan pelan-pelan mengenangnya saat mudik dan lebaran pelahan berlalu. H telah +8, +9, +10. Lebaran telah berlalu....
Tahun ini saya untuk pertama kalinya tidak berlebaran di rumah. Oleh sebab saya telah berkeluarga, tahun ini kami akan berlebaran di rumah keluarga istri. Tak apa. Saya tak menyesali situasi. Tak pula bersedih. Dan tak hendak bersedih. Saya justru senang, karena akan segera tahu bagaimana cerita berlebaran di luar tradisi yang membesarkan saya.
Saya sudah bersiap-siap. Tak hendak menangis. Karena menangis saat lebaran di rumah mertua bagi saya adalah perasaan yang tak adil. Bagi saya, tangisan itu menjadi pertanda bahwa saya belum menyediakan diri menjadi bagian dari rumah mertua. Konsekuensi pernikahan paling logis saya kira adalah ketika kita menjadi warga dua rumah. Saya hendak melewati ritus berlebaran dengan baik. Maksudnya berusaha mengikuti ritus yang telah ada. Saya hanya menanyakan protokoler ritus kepada istri dan mertua. Bila ada yang perlu dilakukan sedang sebelumnya tak dilakukan, saya mengajukan beberapa usul.
Sebagai seorang yang pengin mengesankan romantik, saya menunggu-nunggu momentum malam takbiran. Saya sudah banyak mendengar cerita teman-teman yang terharu, hatinya tersayat, dan batinnya digetarkan oleh gema takbir yang bertalu-talu. Entah mengapa, takbir umumnya menjadi pengingat kenangan-kenangan manis mengenai rumah. Menurut pengalaman saya, lebih banyak orang yang ingat rumah dan keluarga saat mendengar takbir berkumandang ketimbang ia mengingat surga atau neraka. Itulah mengapa saya mengatakan lebaran lebih banyak sebagai ritus budaya ketimbang ritus agama. Dan realitas ini tak perlu dipertentangkan saya kira. Saya tak menyebut mereka yang ingat rumah ketika mendengar takbir sebagai orang yang tipis imannya. Seorang yang terharu membayangkan firdausnya surga pun belum tentu seorang yang durhaka. Dua hal ini bukan sesuatu yang berkebalikan, bukan sesuatu yang komplementer. Dan yang penting, tak perlu dipertentangkan.
Malam takbiran. Saya duduk di teras. Mencari-cari rembulan pangkal polemik 1 Syawal ditetapkan. Tentu saja sulit. Karena bulan hanya muncul di ufuk, dalam satu horison pada ketinggian nol koma hingga tiga derajat saja. Bahkan belum dapat disebut sabit. Hanya ada beberapa bintang. Langit hitam. Entah cerah, entah mendung. Dari masjid dan musholla di sekitar rumah takbir bergema. Bersahut-sahutan. Syahdu. Namun saya tak menangis.
Saya merasa sebagai seorang yang sentimentil. Melankolik. Romantik. Namun tak mudah untuk menangis. Saya lebih sering mengamati sesuatu, meresapkannya dalam hati, dan menuliskannya entah di mana. Saya tak pernah menghubungkan menangis dengan kecengengan, atau menangis sebagai identifikasi keperempuanan, atau simbol keharuan dan ketebalan kasih sayang. Siapa saja boleh menangis. Bahkan beberapa kali saya sangat ingin menangis, namun entah mengapa tak bisa. Menangis bagi saya adalah ekspresi sekaligus terapi. Mengekspresikan sesuatu dengan menangis kadang-kadang membuat rongga dada lebih baik. Itulah sebabnya saya ingin menangis seperti saya ceritakan pada dua kalimat sebelumnya.
Pada awalnya saya selalu gugup melihat orang menangis. Tak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang kita harus melakukan sesuatu sebagai ekspresi, satu bentuk perhatian yang dimanifestasikan. Namun beberapa pengalaman membuat saya mampu bersikap terhadap seorang yang menangis. Saya kerap mendapati ibuk saya, atau (calon) istri saya menangis. Tak tersedu-sedu, hanya menumpahkan air mata, entah oleh sebab apa. Pada model tangis yang begini saya biasanya hanya diam saja. Kalau perlu memeluk atau mengusap punggung tangannya sebentar. Dan meninggalkannya diam-diam di kamar. Ketika mereka selesai menangis pun, saya tak memaksakan diri bertanya, sebab apa tadi menangis. Kalau mereka mau, beberapa saat ke depan mereka akan bercerita. Bisa sangat rinci, atau gambaran umum saja. Atau tidak bercerita sama sekali. Bagi saya sikap diam dan memberi kesempatan mereka menangis adalah satu sikap yang melegakan bagi semua.