Malam itu kami, karena istri saya beberapa saat kemudian menyusul ke beranda, puas memandang langit—rembulan tak tampak, dan mendengarkan gema takbir. Saat malam mulai beranjak, kami bergegas masuk ke dalam rumah. Maklum, rumah mertua saya berada di kawasan lereng pegunungan. Sejuk, apalagi di waktu malam. Kami melanjutkan canda di ruang tengah. Berbagi tugas, karena Mbak Yati yang biasa membantu ibu mertua saya cuti beberapa hari. Saya kebagian menyapu dan mengepel lantai.
1 Syawal menjelang. Matari belum bersinar. Hari masih gelap. Kami sudah beberes rumah. Saya mulai menyapu, dan mengepel. Kemudian ibu mertua—dengan selera keibuannya—mengatur meja tamu dan meja keluarga dengan beberapa penganan. Saat fajar berlalu, kami berangkat ke masjid menunaikan salat ied. Orang-orang sudah berkumpul. Sebagian berbaju koko putih dan mukena putih. Syahdu. Saya yang seumur hidup salat ied di tanah lapang kecamatan dengan tak kurang 2.000 jamaah tak merasa menyesal salat dengan sekira 200 jamaah yang kesemuanya saling mengenal, sebagian lagi masih bisa dirunut pertalian darahnya.
Salat, kemudian khutbah, ditutup dengan shalawat dan bersalaman sesama jamaah. Setelah itu kami akan menikmati ketupat bersama-sama. Saat salawat dan bersalaman saya merasa pelupuk mata berat. Ada desir halus di dada. Saya berusaha menghimpitnya. Namun tak kuasa. Saya mulai sesenggukan. Dan air mata itu menetes.
Saya bergegas meninggalkan masjid, dan jamaah yang mulai membongkar ketupat hantaran masing-masing rumah. Saya menyesal tak dapat turut makan ketupat bersama. Tiba di rumah saya masuk kamar. Nares sedang tidur pulas setelah baru selesai mandi pagi dan disusui ibunya. Saya duduk di sisi ranjang. Sesenggukan. Agak lama. Ibu mertua saya masuk hendak mencandai cucunya, namun mendapati saya berdiam di pinggir ranjang ia kemudian mengurungkan langkahnya. Bersamaan itu masuk istri saya. Mengelus punggung tangan saya, dan mengusap pundak saya. Tersenyum.
Air mata saya masih menetes. Saya mulai merasa dada saya mengembang. Beberapa hirup oksigen membuat saya merasa dua derajat lebih nyaman. Air mata mulai menetes satu persatu dan kemudian berhenti sama sekali. Saya melirik Nares yang masih terlelap. Memakai baju terusan yang cerah, topi kuning, dan pipinya yang tembam. Saya bersiap untuk melakukan sungkeman dengan bapak dan ibu mertua. Berbaris rapi berikut adik-adik ipar.
Sampai saat ini saya pun tak tahu mengapa saya menangis. Seringkali menangis tak perlu didefiniskan oleh sebab tertentu. Saya pun tak pernah bercerita mengapa saya meneteskan air mata kepada istri. Sore harinya ia hanya memberi kesan pendek: sepanjang lima tahun keintimannya dengan saya, baru kali ini ia mendapati saya menangis. (Telkomsel-Ramadhanku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H