Versi kedua merunut rentang historis yang lebih panjang lagi. Bermula dari setting gegeran Mataram-Batavia antara Sultan Agung dan VOC. Saat itu Tegal sebagai wilayah perbatasan Mataram dengan Cirebon, dan Batavia. Sudah diingat publik dalam pelajaran sejarah bahwa Sultan Agung dua kali menyerang Batavia secara besar-besaran, berturut-turut tahun 1628 dan 1629. Untuk kepentingan penyerangan ini, Sultan Agung memerintahkan pembukaan lahan sawah di wilayah Indramayu, Karawang dan sekitarnya, untuk menjamin ketersediaan logistik pasukan yang akan bertempur. Sultan Agung bahkan sampai mengerahkan kawula Mataram untuk menjadi petani di Indramayu dan sekitarnya, satu informasi yang saya dapat melalui Trilogi Rara Mendut gubahan Romo Mangunwijaya, menambahkan informasi yang selama ini saya duga: petani di Indramayu ya orang Indramayu sendiri. Bila informasi ini akurat, maka penduduk Indramayu dan sekitarnya hari ini masih bertalian darah dengan kawula Mataram, dengan mengandaikan petani Mataram kemudian bermukim di Indramayu hingga kini. Petani dan prajurit tentu berbeda. Prajurit datang, perang, menang (atau kalah), dan pulang. Sedang petani mempunyai kemungkinan domisili lebih lama.
Bupati Tegal kala itu, Tumenggung Martoloyo ditunjuk sebagai senapati panglima perang, sekaligus menyiapkan ubo rampe peperangan, termasuk penyediaan logistik. Meski belum ada bukti otentik, kuat dugaan Martoloyo mengerahkan warga Tegal juga menjadi petani yang menyiapkan lahan di Indramayu, hingga menjadi juru masak pasukan di Batavia. Informasi ini saya dapat melalui seorang penulis Tegal, Suriali Andi Kustomo yang menyinggung dalam bukunya Tegal, Kota yang Tak Pernah Tidur (2004). Meski demikian, hingga saat ini, realitas yang tercatat dalam sejarah memang hanya pengerahan warga Tegal sebagai prajurit penggempur VOC di Batavia.
Bangunan Warteg saat ini umumnya tidak lagi berbentuk bedeng darurat. Banyak bangunan Warteg dibuat semi permanen atau permanen. Ciri umum yang masih melekat adalah luas Warteg yang umumnya sempit sekira 15-20 M, serta bercat biru dan berada di lokasi yang ramai. Sajian yang disuguhkan umumnya terdiri dari banyak ragam sayur dan lauk, namun tak seperti Rumah Makan Padang sajian Warteg tak ada yang spesifik pasti ada pada setiap Warteg.
Seperti halnya RM Padang yang mengasosiasikan diiri dalam Ikatan Warung Makan Padang Indonesia (Iwapin) yang membawahi tak kurang 20.000 earung se-Jakarta saja, pengusaha warteg umumnya bergabung dalam Koperasi Warung Tegal (Kowarteg). Berbeda dengan RM Padang yang telah masuk mall, dan menggurita dalam franchise yang tersebar pada banyak kota seperti jaringan Garuda, Sederhana, Simpang Raya, Siang Malam, atau Pagi Sore, Warteg tak beranjak dari sela-sela kota. Soal cat biru pada Warteg, ada ceritanya. Kawasan Tegal sebagai daerah asal pengusaha Warteg berada pada topografi pesisir sekaligus agrarian. Topografi pesisir ini kemudian menginspirasi pengusaha untuk mengecat biru Wartegnya. Agar ingat selalu kampung halaman, begitu kira-kira pikir pengusaha Warteg.
Untuk sayur dan lauk, seorang mahasiswa IPB pernah meneliti, bahwa tak kurang terdapat 12 jenis sayur dan maksimal terdapat 4 jenis lauk yang disajikan. Bila pada RM Padang hampir pasti selalu ada rendang, daun singkong rebus dan sambal balado, pada warteg tak ada menu khusus yang menjadi ciri utamanya. Di Tegal, umumnya Warteg menyajikan sayur biasa disebut ’sambel tempe’ atau ponggol. Disebut ’sambel tempe’ sebenarnya kurang tepat, karena karakteristik sayur tersebut mendekati ’tumis tempe’ ketimbang ’sambel tempe’. Salah kaprah identitas ini juga terjadi pada tradisi kulinari Solo dan Yogyakarta untuk menyebut sajian serupa sebagai ’sambel goreng tempe’. Ponggol merupakan sajian yang dikenal luas di Tegal, yang dalam praktiknya sudah termasuk nasi putih yang dibungkus. Semenjak beberapa tahun terakhir warga Tegal mengenal sajian ’ponggol setan’, yakni nasi ponggol yang dijual malam hari seperti halnya nasi kucing di Solo dan Yogyakarta.
Jadi, kapan anda ke Warteg (lagi), dan mulai menghitung jumlah sayur dan lauk, mencermati (kembali) cat warteg, memperhatikan lagak lagu pekerja dan pengusahanya, meresapi kesahajaan pengusaha Warteg yang memiliki rumah permanen dan tak jarang mewah di Tegal namun tidur berimpitan di Wartegnya, mengenang sejarah Warteg sambil menyuap nasi, atau mengkomparasikan nilai-nilai yang terbangun dari tradisi panjang ini dari kesatuan ujud Warteg? Silakan. Tak perlu mengajak saya. Saya percaya soal kata bisa dicari lewat riset, dan soal lidah tak bisa bohong. Sayang, saya dibesarkan dalam tradisi berolah masakan dengan citarasa manis, sehingga cita rasa Warteg yang umumnya asin dan pedas tak dapat saya nikmati sempurna. Meski demikian, saya tak akan ragu bersama anda, mengagumi Warteg di bawah benderanya yang hingga kini masih berkibar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H