Mohon tunggu...
Emanuel S Leuape
Emanuel S Leuape Mohon Tunggu... -

Alumni Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana-Kupang, NTT\r\n dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dialetika Tindakan-Praksis dan Pembangunan Indonesia

27 Agustus 2015   12:06 Diperbarui: 27 Agustus 2015   12:06 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dibacakan Soekarno (bersama Hatta) tepat tanggal 17 Agustus 1945. Momen sejarah itu kita maknai dan hayati sebagai the sacred (yang kudus) dalam perulangan ritus peringatan nasional Hari Kemerdekaan Indonesia guna melestarikan solidaritas sekaligus menentukan klasifikasi kualitas ke-Indonesia-an kita. Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi pristiwa sejarah bangsa dan negara Indonesia menentukan nasib kemerdekaan dan masa depannya. Dalam filsafat sejarah, dibedakan 2 jenis waktu, yaitu: chronos dan kairos. Chronos adalah waktu biasa; semacam urut-urutan waktu belaka. Sedangkan kairos merupakan waktu luar biasa; waktu yang dinanti-nantikan; waktu yang punya daya dobrak; semacam waktu sejarah yang bisa mengubah bahkan menjungkirkan keadaan yang using dan rusak menjadi keadaan total yang baru. Bahkan Paul Tillich (eksistensialis) dan Walter Benyamin (kiri ateis), sama-sama menyakini kairos memiliki kandungan harapan akan kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara drastis dan revolusioner. Hari Kemerdekaan Indonesia dirayakan dalam spirit kairos tersebut. Dalam tiap tahunnya, momen 17 Agustus dirayakan dengan penantian masyarakat Indonesia akan adanya perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depannya. Gagasan dalam bahasa cukup mencerminkan komitmen  dan harapan realisasi cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian janji kepemimpinan dari level nasional hingga lokal. Pada saat yang sama, masyarakat pun masih menaruh harapan kendati tak sedikit juga yang lelah dan putus asa dalam penantian selama 69 tahun. Memang ada tanda-tanda kemajuan positif tetapi tidak cukup menutupi kemacetan tindakan pembenahan homework lainnya. Bangsa dan negara merupakan satu kesatuan yang terkoordinasi dan sinkron dalam interaksi dan kerjasama antar unsurnya sehingga sulit menganggap adanya transformasi jika satu atau lebih unsur stagnan. Konsekuensinya adalah momen Hari Kemerdekaan Nasional kehilangan spirit kairosnya dan perlahan menjelma menjadi momen chronos tahunan. Semangat mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia ditandai dalam komitmen dan harapan dari waktu ke waktu. Komitmen dan harapan tersebut hadir menandai tipe-tipe ideal yang menemukan klimaksnya dalam tindakan-praksis. Merealisasikan tipe-tipe ideal dalam tindakan-praksis dihadapkan 2 bentuk tantangan, yaitu: kendala teknis dan kendala antropologis. Pada yang teknis, ketiadaan pelaksanaan komitmen dan harapan diletakkan pada adanya gangguan teknis yang relatif diluar prediksi atau kemampuan manusia. Anjloknya nilai mata uang, bencana alam, embargo perdagangan, krisis global, kematian, dan lainnya. Kendala teknis hadir dalam bentuk kebijakan-kebijakan teknis yang menangguhkan pelaksanaan komitmen dan harapan awal justruh karena pertimbangan kecepatan dan ketepatan membenahi persoalan baru yang muncul belakangan. Dalam sifatnya yang unpredictable dan beyond control, kendala teknis mampu disiasati dengan sikap antisipatif. Sikap antisipasi oleh Ignas Kleden mengacu pada sikap kontrol atas doing things right, yaitu monitoring selama pelaksanaan tindakan-praksis dan pengecekan terhadap doing right things yang adalah evaluasi atas kelayakan dampak tindakan-praksis. Kedua sikap antisipasi ini mengandung kualitas kesiapan dalam mengsiasati segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kesiapan ada sebagai antithesis ketidaksiapan yang hanya bermuara pada sikap reaktif yang cenderung memperbesar penundaan tindakan-praksis. Kesiapan meminimalisir distorsi kendala teknis dalam menangguhkan realisasi komitmen dan harapan akan perbaikan kehidupan bersama. Pada akar persoalan antropologis, disinilah letak bahaya laten dalam upaya mewujudkan cita-cita pembangunan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Perihal paling mendasar bagi dimensi kemanusiaan individu adalah survival (eksis). Survival merupakan aspek antropologis individu manusia yang memprioritas pertahanan dan ketahanan atas kehidupan atau rasa nikmat dan karenanya dihayati sebagai nilai yang layak dihayati dan senantiasa diperjuangkan. Kebalikannya adalah kematian atau derita yang harus selalu dihindari. Dalam logika sosial, upaya mendekati tipe-tipe ideal bersama menuntut sinkronisasi tindakan-praksis antara anggota individunya. Ini bisa dibaca secara terbalik bahwa upaya menjauhi cita-cita yang diklaim ideal juga terkonstruk oleh sinkronisasi tindakan-praksis individu-individu yang menjauhinya. Kesatuan dan kesamaan tindakan-praksis demikian dilihat sebagai wujud kepatuhan tubuh individu-individu. Kepatuhan tubuh-tubuh (docile bodies) terkondisikan pada akar pengejaran akan kenikmatan (kehidupan) dan penghindaran akan penderitaan (kematian). Keduanya  sama-sama menjamin dimensi survival individu. Kesulitan merealisasikan komitmen dan harapan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat disingkap dalam mekanisme kerja kepatuhan tubuh-tubuh. Kita mempertanyakan habitus korupsi, ketidakjujuran politik, ketamakan ekonomi, primodialisme birokrasi, kesewenangan supremasi hukum, fanatisme dan diskriminasi sosial, feodalisme pendidikan, dan lainnya, menjadi entitas laku hidup yang relatif tetap ada justruh dalam kondisi kesadaran dan kehendak kita untuk memberantasnya. Pertama, pemuasan rasa kenikmatan (hidup) jelas menjamin eksistensi individu manusia dalam konteks skala sosial sekecil apapun. Kenikmatan menjadi motif individu paling purba (urmotif) tertatanam secara fundamental dalam insting-insting biologis. Potensi tabrakan antarindividu dalam pemuasan kenikmatan diri mengkondisikan lahirnya organisasi sosial sebagai pengaturnya, tak terkecuali negara. Kendati adanya organisasi sosial, motif kenikmatan tidak otomatis hilang, tetapi hanya direpresi pada level tindakan-praksisnya. Artinya, motif kenikmatan selalu ada dalam diri individu dan dapat saja terwujud dalam praktiknya jika organisasi sosial lengah atau fleksibel dalam mengorganisasikannya. Korupsi, misalnya, dilakukan demi kenikmatan dalam pemenuhan kebutuhan hidup diri pelakunya. Kehidupan sosial yang diwarnai kompetisi secara bebas dan fleksibel mengkondisikan tiap individu memprioritaskan ambisi dan ego kepetingannya masing-masing. Ketika laku hidup demikian dimaknai dan dipraktikkan secara kolektif, maka akan membentuk satu habitus hidup yang senantiasa mengstrukturasi individu-individu pelakonnya. Sebagai konsekuensinya, kesalahan yang dilakukan bersama-sama dalam jaringan (habitus hidup) akan kehilangan watak moral, karena nurani digilas oleh imperatif-imperatif kawanan. Kedua, kepatuhan tubuh individu juga datang dari ketakutan akan penderitaan (kematian) dan dihindari guna menjamin dimensi survivalnya. Mengutip analogi F Budi Hardiman tentang tubuh dan mesin: “Tubuh manusia dapat meniru mesin, dan mesin ini terhubung dengan rangkaian mesin-mesin lain yang dikontrol oleh sebuah megamachine, yakni rezim, sehingga faktor pembatas yang biasa disebut hati nurani dalam sistem mekanis ini mengadaptasi komando-komando dari luar.” Dalam hal ini, kepatuhan tubuh individu pada kesatuan dan kesamaannya dengan tubuh-tubuh yang lain menjadi prasyarat individu tersebut tetap survival dalam kehidupan sosialnya. Habitus hidup sosial membentuk sistem pengklasifikasian terhadap pelakunya sebagai ada yang sama (the same) dan ada yang lain (the others). The same dipandang sebagai normalitas sosial sehingga tetap eksis survivalnya, sementara the other dilihat sebagai patologi sosial yang harus dieliminir dimensi survival subyek individu pemiliknya. Persoalan mendasar bagi ketahanan praktik-praktik kontraproduktif dalam kehidupan bangsa dan negara juga bekerja dalam logika klasifikasi ini. Maksudnya, bahwa persoalannya bukan pada ketiadaan otonomi kesadaran dan kehendak individu, tetapi tubuh individu memang harus sinkron dengan habitus sosial dibawah ancaman stigma dan diskriminasi sebagai the others. Anggota kelompok etnis tertentu harus melakoni kekerasan pada kelompok lainnya demi eksistensi keanggotaannya dalam kelompoknya kendati kesadaran dan kehendaknya bermakna yang lain, politisi yang mencoba untuk berlaku adil dan jujur justruh dieliminir oleh kelompoknya sendiri, ketertundukan individu yang kritis pada pemimpin agama karena takut distigma dosa dan didiskriminasi dalam pelayanan imannya, dan masih banyak lainnya, menjadi fakta praktik-praktik habitus hidup yang mengafirmasi kepatuhan tubuh pada yang tuntutan sosial justruh dalam otoritas kesadaran dan kehendak individu yang dapat menjadi lain. Ketakutan sebagai the others menjadi persoalan laten dan substantif tepat dalam pandangan Snow C.P bahwa bila kita menelusuri sejarah umat manusia yang panjang dan kelabu, kita akan menemukan lebih banyak kejahatan yang menjijikan yang dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pembangkangan. Terlalu sempurna wujud gagasan/ide, tingginya komitmen, dan besarnya harapan akan adanya perubahan kehidupan bangsa dan negara tetapi kesemuanya hanya tinggal sebagai bagian dari dialetika kesadaran dan bahasa wacana yang belum berkonsekuensi logis pada tindakan-praksis. Indonesia dalam 69 tahun tidak kehilangan spirit komitmen dan harapan dari putra-putrinya untuk berbenah, tetapi tidak sedikit juga yang mengimunisasikan keputusasaannya pada sikap realistis. Terakhir dan cukup menghentak kesadaran kita, seruan “Revolusi Mental” a ala Jokowi menjadi simpulan refleksi setelah memahami sejarah perjalanan kehidupan Indonesia yang stagnan bukan pada kurangnya kesadaran dan kehendak, tetapi pada keberanian untuk melakukan tindakan-praksis kerja; kenekatan untuk menjadi the others sebagai ujung tombak rehabilitas kehidupan bangsa dan negara Indonesia dalam bayang-bayang teror habitus-habitus lama. Dialetika kesadaran yang melayani kehendak untuk menjadi yang lain belumlah cukup karena kualitas perubahan nampak dalam tindakan-praksis. Sehingga yang perlu adalah transformasi dari dialetika kesadaran kepada dialetika tindakan-praksis. Menjadi the others dalam tindakan-praksis merupakan cara berada (mode of beings) individu pada kehidupan sosialnya. Posibilitas cara berada individu ini menandakan ragam dimensi atau kualitas kehidupan yang diyakini dan dihayati individu melalui pemenuhannya dalam tindakan-praksis. Dengan mengacu kepada pada filsafat eksistensi Karl Jaspers, Vikror Frankl memamahi manusia sebagai “ada yang memutuskan”. Manusia selalu saja memutuskan keadaannya saat ini dan akan menjadi apa selanjutnya. Dalam dimensi kebebasannya, makna terakhir yang dapat diwujudkan oleh manusia dalam setiap situasi kehidupannya adalah memutuskan untuk menjadi apa. Dalam kemampuan memutuskan itulah manusia mempertegas dimensi individualistisnya yang otonom, tak terkecuali dalam konteks keberadaannya pada yang sosial. Keputusan untuk dapat menjadi lain hanya dikenali dalam tindakan-praksisnya. Berada posisi sebagai the others dalam dimensi tindakan-praksis merupakan upaya penyelamatan halus dalam merekonstruksi habitus-habitus hidup lazimnya. Dalam penjelasan strukturasi-agensi Anthony Giddens, struktur (habitus) mengarahkan tindakan-praksis individu-individu sekaligus pada momen bersamaan tindakan-praksis individu-individu memiliki peran merekonstruksi secara baru dan lain habitus-habitus yang lama. Asumsi ini cukup menjadi alasan kuat bagi urgensi dimensi tindakan-praksis dari sekedar kesadaran dan kehendak. Apakah para kelompok politisi, birokrat, intelektual, pelaku ekonomi, hingga masyarakat biasa bisa mulai merubah habitus-habitus lama hanya melalui dimensi tindakan-praksisnya karena di sanalah kekuatan lakon the others-nya berpotensi menegaskan peran dan kontribusinya dalam mewujudkan komitmen dan harapan akan cita-cita bangsa dan negara. Terobosan ini sebagaimana penjelasan George Berkeley, kebenaran adalah bagian kesadaran dan kehendak gerombolon semua, tetapi menjadi perihal tindakan-praktis   oleh sedikit orang. Berada pada posisi yang berlawanan dengan etos hidup kolektif, individu yang dapat menjadi yang lain juga harus mempersiapkan diri untuk juga untuk menderita. The others mengancam dimensi survival. Siapa yang tidak termasuk kita, melawan kita, dan karenanya harus digangu dan dieliminir dimensi survivalnya. Menjadi yang lain dalam rangka memperjuangkan yang baik dan benar merupakan nilai makna yang dapat ditemukan manusia dalam penderitaannya. Berkorban menjadi makna individu dalam momen-momen penderitaan  sebagai the others yang oleh Viktor Frankl dinamakan kehendak untuk makna dalam kehidupan. Makna berkorban menjadi individu untuk berani menderita sebagai the others di bawah bayang-bayang teror sosial. Tak cukup hanya berani menderita demikian, melainkan juga belajar untuk dapat menderita. Kemampuan menanggung penderitaan dikondisikan nilai-nilai sikap yang ditandai kemampuan batiniah individu utuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang dari penderitaan itu sendiri. Apakah momen koiros Hari Kemerdekaan Indonesia ke-70 mampu mengtransformasikan dialetika kesadaran kepada tuntutan tindakan-praksisnya? Pertanyaan ini bahkan tak butuh jawaban wacana bahasa, tapi harus dibuktikan dalam dialetika tindakan-praksis.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun