Tiap aktor individu memiliki daya ekspresi berskala mikro (micro forces of expression) yang diwujudkan dalam susunan unsur-unsur pembentuk persepsi dan sistem makna (keindahan), seperti: kebiasaan berpikir, perasaan (aspek emotif), tindakan, dan sistem pembentuk nilai yang direfleksikan dari akal budinya sehingga tidak murni naluriah yang sudah ada. Keindahan sebagai konstruksi persepsi tiap aktor tidak pernah murni reproduksi ratio yang berapriori mandiri tanpa tangkapan pancaindera dan proses internalisasi pengetahuan ke dalam benak, sehingga ini tentunya mengesampingkan pandangan keindahan subyektif aktor sebagai yang terberi dari lahir. Jelas keindahan sebagai obyektifikasi wacana luar murni konstruksi karena adanya pertentangan dan pertarungan wacana pengetahuan antara individu.
ESTETIKA TUBUH PEREMPUAN
Jika tubuh dan keindahan menjadi perangkat wacana pengetahuan yang dikonstruksi, maka estetika tubuh perempuan pun dibangun di atas wacana pengetahuan yang mengendalikan kualitas keindahan dalam persepsi aktor. Keindahan yang terdapat pada tubuh perempuan berbeda dengan keindahan yang terdapat pada tubuh laki-laki. Keindahan yang khas dari tubuh perempuan memuat cita-rasa estetis yang unik. Seringkali apa yang dikenakan pada perempuan dikaitkan dengan keindahan. Sama halnya dengan teater yang merupakan bagian dari kesenian tidak mungkin lepas dari unsur estetika. Persamaan itu telah mempertemukan perempuan dan teater sebagai media representasinya yang melahirkan cita-rasa keindahan. Dalam teater, tubuh perempuan menjadi simbol yang merujuk pada acuan imaji (ide) keindahan. Keindahan ini tidak bisa dibaca dalam pemaknaan dalam paradigma semiotika (Pierce, Saussure, Barthes, dan lainya) karena keindahan itu sendiri menyatu dengan tampilan tubuh itu sendiri. Misalnya: kita melihat gelas sebagai yang hadir dengan bentuk tertentu, kualitas warna tertentu, dengan kualitas kepadatan tertentu, dan kualitas berat tertentu, tanpa berpretensi melihat makna lain dibalik gelas tersebut, seperti: moderenitas, kapitalisme, dan sebagainya.
Demikian pun keindahan tubuh perempuan dipersepsikan indah dari susunan tampilan visual adanya tanpa mencoba menggali makna lain dibalik tubuh perempuan itu sendiri. Keindahan tubuh perempuan bukanlah acuan/rujukan dari tubuh itu sendiri, tetapi ia menjadi cita-rasa yang diperoleh secara langsung oleh individu yang mempersepsikannya. Tubuh perempuan itulah keindahan, bukan mengacu pada entitas makna yang lain. Terdapat banyak kriteria dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang indah dan jelas itu bukan murni naluriah atau juga bukan murni ratio atau juga bukan murni emosi atau juga bukan murni pengalaman atau bahkan bukan murni proses mental, tetapi lebih merupakan percampuran semua aspek mental dan fisiologis individu. Pada hal ini, tesis Sarte tentang kehadiran (keberadaan) eksistensi manusia mendahului esensinya (hakikat/ideal) harus dimaknai secara hati-hati. Bagi perempuan sebagai subyek pemilik tubuhnya, eksistensi tubuhnya memang harus terlebih dahulu disadari sebelum menyentuh esensinya. Eksistensi manusia perempuan (dalam penyatuan tubuh dan jiwa) tentunya harus ada (dilahirkan) sebelum perempuan itu sendiri memaknai secara lebih tubuhnya.
Tanpa tubuh kita tidak mungkin memaknai tubuh kita dan tanpa jiwa, kita mustahil mengenali tubuh kita karena tubuh kita mati. Tubuh dan jiwa adalah dualitas yang saling mengadakan dan mempertegas identitas kita sebagai human, kendati belum menjamin aspek humanity kita. Sebaliknya, jika kita memandang tubuh perempuan sebagai obyek yang menjadi kepunyaan orang lain, maka eksistensi dan esensi bersifat fleksibel. Artinya, kita dapat memandang tubuh sebagai yang ada dalam tangkapan pancaindera lalu berabstraksi tentang esensinya atau kita dapat memperoleh pengetahuan yang menggambarkan tubuh perempuan tanpa kita harus menginderai tubuh tersebut. Misalnya: andai saja kita melihat tubuh perempuan dan kita akan mampu berabstraksi tentang bagaimana memaknai hakikat tubuh tersebut atau jikalau bayi yang dibesarkan dari kecil dengan tidak pernah melihat sosok tubuh yang namanya perempuan, tapi dia masih bisa berabstraksi dengan sosialisasi dan internalisasi pengetahuan sehingga dia dapat membayangkan bagaimana sosok tubuh seorang perempuan dalam benaknya.
Sebagai konstruksi, keindahan tubuh perempuan pada dasarnya tetap berangkat dari wacana pengetahuan. Pengetahuan yang disosialisasi dan dinternalisasi pada bayi sekalipun tetap berangkat dari pengetahuan sebagai hasil “persepsi yang menubuh” dalam pandangan Ponty. Dalam menengi pertentangan antara idealisme dan empirisme dalam hal pengetahuan, maka tesis Ponty ini dinilai cukup baik mengsolusikan bagaimana sebuah pengetahuan diproduksi dan direproduksi, tak terkecuali tentang pengetahuan tentang keindahan tubuh perempuan. Kalau diasumsikan keindahan itu subyektif, maka tiap individu punya cita-rasa keindahan khas dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai yang estetis. Kriteria dalam mempersepsikan keindahan tubuh perempuan pun khas bagi subyek. Sedangkan asumsi keindahan tubuh perempuan sebagai satu persepsi yang obyektif, maka kriteria yang dipakai pun obyektif.
Di samping keindahan, tubuh perempuan dapat dimaknai secara beragam. Ditinjau dari sisi anatomi, tubuh perempuan merupakan kompleksitas biologis yang mengagumkan dan signifikan bagi kelangsungan hidup manusia. Keindahan tubuh perempuan diagungkan dalam kegiatan ritual manusia dan dimaknai keindahannya secara simbolik, seperti pentas drama atau seni lukis. Bagi perempuan sebagai pemilik tubuhnya, ia menjadikan tubuhnya sebagai modal untuk menciptakan dan membentuk manusia baru atau untuk presentasi simbolik lainnya. Salah satu pementasan teater yang membahasakan tubuh perempuan secara tekstual adalah Vagina Monolog karya Eve Ensler. Bagian diri manusia yang paling transparan untuk diekspos adalah tubuh, sekaligus sebagai entitas purba yang paling misteri untuk disingkap. Tubuh bagaikan sebuah puzzle yang kerap kali membuat orang bingun darimana harus mulai menyusunnya atau seperti cuplikan adegan yang kita tidak tahu apakah itu awal, tengah, atau akhir. Kerumitan ini juga dialami oleh sosiologi tubuh yang berusaha menemukan satu penjelasan fundamental dalam mengenali tubuh sebagai teks dan representasi atau tubuh sebagai habitus dan praktik.
Dalam kajian dan pemahaman tentang tubuh, sosiologi tubuh berusaha menawarkan satu refleksi kritis sosiologis tentang pemisahan antara pikiran (rohaniah) dan tubuh (jasmaniah) yang telah jauh dicetuskan Cartesian. Bahkan dalam kajian filsafat, salah satunya Ponty, telah berusaha memberikan satu sudut pandang baru tentang dari dualisme kepada dualitas jiwa dan tubuh. Tinjauan-tinjaun ini setidaknya membuktikan bahwa tubuh sebagai satu ontologi yang esensi dan natural adalah sebuah ilusi dalam pencarian kebenaran obyektif tentang tubuh. Yang sudah dan sedang terjadi adalah hanya konstruksi epistemologi yang hampir mencapai kebenaran pemaknaan tentang tubuh, di antaranya: makna tubuh sebagai metafora yang selalu ada terkait hubungan sosial dan politik sepanjang sejarah manusia, tubuh sebagai kriteria keteraturan sosial dalam oposisi biner antara keseimbangan tubuh dan ketidakseimbangan tubuh, dan sebagainya. Bahkan penyebutan kata “tubuh” itu sendiri pun hasil konstruksi makna untuk menandai satu entitas material yang diacu imaji akustik “tubuh”.
Persoalan selanjutnya adalah apakah keindahan tubuh perempuan merupakan hasil kegiatan mental subyek yang mempersepsi atau ada semacam aspek keindahan yang melekat pada tubuh perempuan itu sendiri sehingga dipersepsi sebagai keindahan? Untuk yang pertama dilihat keindahan tubuh perempuan sebagai persepsi subyektif aktor. Bernedeto Croce dalam karyanya Aesthetics mencoba memahami aspek estetis dengan analisa mengenai kejiwaan. Keindahan (seni) merupakan kegiatan kejiwaan. Keindahan dipandang sebagai hasil kegiatan intuisi serta pengungkapan perasaan. Tidak ada batasan obyektif tentang kriteria tubuh perempuan sebagai sesuatu yang indah. Artinya, keindahan atas tubuh perempuan lahir dari dalam diri aktor yang mempersepsi. Ini bisa dibandingkan dengan pengetahuan obyektif-universal tentang keindahan yang akan dijelaskan. Kendati sebagai kegiatan intuisi dan ungkapan perasaan, keindahan ini juga hadir sebagai satu bentuk pengetahuan. Pengetahuan obyektif-universal menyangkut persoalan kriteria obyektif yang dipakai sebagai acuan dalam melihat tubuh perempuan sebagai yang estetis. Tubuh perempuan dikatakan estetis jika kualitasnya nampak suturut pengetahuan obyektif demikian.
Hal ini disebut pengetahuan konseptual, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang diobyektifkan (melalui konsesus atas wacana) sebagai satu ide/gagasan yang berlaku universal. Sebaliknya, keindahan sebagai kegiatan intuisi dan ungkapan perasaan lahir sebagai bentuk pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara imajinasi. Pengetahuan intuitif bukanlah berupa pengertian-pengertian akali (concept), melainkan berupa citra (image) dank arena keindahan yang dimaksud tidak berkaitan dengan hal-hal semesta (universal), melainkan dengan hal-hal subyektif (individual). Akan tetapi, keindahan tidak semata lahir dari dalam diri aktor secara apriori. Santayana dalam bukunya yang berjudul The Sence of Beauty mempunyai usaha satu langka lebih komplit dalam menjelaskan hakikat keindahan itu sendiri. Baginya, keindahan memang bisa subyektif sebagai kegiatan ituitisi dan ungkapan perasaan aktor, tetapi tidak akan pernah lepas dari pencerapan pancaindera terhadap obyek. Upaya Santayana ini memang tidak berlaku secara universal atau kaku, sebab manusia juga memiliki konstruksi keindahan secara imajinatif tanpa harus mengacu pada obyek yang nyata ada.
Namun, dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang indah, maka jelas harus melalui pencerapan pancaindera aktor. Sesubyektif apapun aktor dalam menentukan indah tidaknya tubuh perempuan, ia memang harus mengalami kehadiran tubuh itu sendiri. Penjelasan ini tidak berarti ada aspek keindahan yang melekat pada tubuh sebagai yang objektif, tetapi rasa keindahan itu tetap merupakan kegiatan hasil persepsi (kejiwaan) atas respon (pemahaman) kehadiran tubuh dengan kualitas visual. Tepatnya, Santayana keindahan sebagai “rasa nikmat yang diobjektivikasikan”. Misalnya: kita bangun di pagi hari dan mengalami pancaran matahari, kita merasa sehat, dan secara umum merasa nikmat lantas kita berkata: “indah nian pagi ini”. Sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah, tetapi hanya perasaan nikmatlah yang kita alami. Dalam hal ini, kita cenderung mengalihkan perasaan nikmat menjadi sifat obyek, artinya memandang keindahan sebagai sifat obyek yang kita cerap. Padahal sebenarnya rasa nikmat (keindahan) sebenarnya tetap merupakan perasaan. Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas obyek, melainkan sesuatu yang senantiasa berkaitan dengan perasaan.