[caption caption="Ilustrasi--Bendera partai peserta Pemilu 2009 (ANTARA)"][/caption]Sebenarnya tidak ada yang salah dengan partai politik dalam menjalankan roda pemerintahan negri ini, karena tidak ada aturan dalam AD/ART partai (apapun partainya) yang menginginkan kehancuran bangsa ini. Tidak ada aturan dalam parpol yang mengharuskan kadernya untuk korupsi, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang menyalahi peraturan dan konstitusi. Kalau pun ada yang salah itu bukan parpolnya, tapi orang-orangnya jadi kurang tepat rasanya (kalau kita tidak mau menyebutnya salah) apabila parpol itu identik dengan hal-hal yang negatif dalam menjalankan roda pemerintahan, justru parpol adalah “korban” dari apa yang telah dilakukan oleh para anggotanya.
Berangkat dari hal tersebut diatas, maka dapat saya katakana bahwa semua berpulang terhadap individu (orang/manusianya). Berkaitan dengan pencalonan dalam pilgub DKI maka baik calon dari independen maupun calon dari parpol semua memiliki kelemahannya sendiri-sendiri. Apabila kelemahan itu disebut dengan prilaku KKN maka semuanya sama (baik yang dari parpol maupun yang dari individu) dapat mengarah kesana. Karena seperti kita ketahui bersama bahwa untuk bisa menjadi gubernur itu akan memakan biaya yang sangat mahal.
Maka sangat kecil kemungkinananya para calon independen itu dapat membiayainya sendiri, dan kalaupun mau mereka pasti juga akan berhitung secara ekonomi, karena seperti kita ketahui bahwa pendapatan sebagai seorang (contoh) gubernur itu tidak lah akan dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk mencalon dirinya.
Darisitu bisa dapat dipastikan mereka (para calon independen) akan menggandeng para pemodal, siapa pemodal yang mau dengan sukarela mengeluarkan modalnya hanya untuk hal seperti itu? yang modalnya akan hilang dengan begitu saja (baik si calon jadi atau tidak jadi). Artinya apabila para calon independent itu sampai didukung oleh pengusaha (dalam hal pencalonannya) maka sudah dapat dipastikan ada deal-deal didalamnya, seperti pepatah “ tidak ada makan siang gratis” apa lagi dalam dunia politik.
Belum lagi setelah si calon tersebut menjadi gubernur pasti akan ada hambatan-hambatan dalam menjalankan roda pemerintahannya karena tanggung jawab pengelolaan Negara dan Daerah itu bukan hanya ada dipundak eksekutif tetapi juga ada legislative segabai mitra kerjanya. Sehingga akan sangat tidak efektif rasanya jalannya pemerintahan tersebut apabila didalam menjalankan pemerintahannya sampai terjadi ketersinggungan antara eksekutif dan legislatif. Contoh saja dalam kasus pemerintahan DKI Jakarta soal reklamasi teluk Jakarta terlihat bagaimana alotnya pembahasan raperda zonanisasi yang hal tersebut di inisiasi oleh pihak eksekutif.
Jadi, sepertinya jawaban atas apa yang sebagian masyarakat anggap kegagalan bangsa ini dalam mensejahterakan rakyat adalah kesalahan partai politik sehingganya calon independen lah yang dapat mengatasinya tidaklah tepat, karena semua memiliki resiko KKN, dan politik transaksional (kalau kita ingin mengatakan kegagalan itu disebabkan oleh KKN dan politik transaksional parpol).
Disini bukan berarti saya anti terhadap calon Independen, tetapi apabila apa yang dimaksud dengan calon independen itu adalah sebagai jawaban atas apa yang mereka anggap kegagalan partai politik disitu saya tidak setuju, karena inilah masa transisi yang memang harus bangsa ini lewati atas konsekuwensi dari reformasi dan demokrasi yang telah dipilih.
Tetaplah memilih dengan cerdas dan tetaplah menjadi santun, karena kita adalah Indonesia yang menjujjung tinggi budaya ketimuran. Sekali lagi santun bukan berarti lemah dan tegas bukan berarti kasar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI