JAKARTA, KOMPAS.com — Tidak banyak pemimpin yang mau mengungkap borok yang terjadi di bangsanya sendiri. Presiden Joko Widodo sedikit di antaranya.
Ketika menyampaikan pidato dalam acara pelantikan pengurus Partai Hanura di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat, 22 Februari 2017 lalu, Jokowi buka-bukaan tentang kondisi bangsa Indonesia saat ini.
"Banyak yang bertanya kepada saya, apa demokrasi kita kebablasan? Saya jawab, ya demokrasi kita sudah terlalu kebablasan," ujar Jokowi.
"Praktik politik demokrasi kita membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila," lanjut dia.
Bentuknya, menurut Jokowi, sangat konkret. Suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA dijadikan alat untuk saling serang, saling menjatuhkan lawan politik, sekaligus dijadikan alat untuk raih simpati rakyat.
(Baca: Jokowi Minta Ahok Tak Pusingkan Pendanaan Pembangunan MRT)
"Penyimpangan praktik itu mengambil bentuk nyata. Seperti yang kita lihat belakangan ini, politisasi SARA. Saling memaki dan menghujat. Kalau diteruskan bisa menjurus pada memecah belah bangsa kita," ujar Jokowi.
Masyarakat Indonesia menjadi lupa akan karakter bangsa Indonesia yang majemuk dan beragam. Masyarakat Indonesia larut dalam perang semu. Namun, Jokowi meyakini, guncangan yang dialami bangsa tak membuat Indonesia terpecah belah.
Ia yakin bangsa Indonesia saat ini masih bersatu, meski ia mengakui, pemerintah harus menjadi garda depan dalam memperbaiki konsep-konsep kebangsaan dan kemajemukan yang rusak akibat politisasi SARA.
"Ini juga menjadi ujian yang nantinya, kalau bisa dilalui dengan baik, akan membuat kita semakin matang dan tahan uji, bukan melemahkan," ujar Jokowi.
Setelah 138 hari tidak bertemu Ahok