JAKARTA, KOMPAS.com - Kisruh di internal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kian meruncing. Konflik dipicu putusan Mahkamah Konstitusi (MA) yang membatalkan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 soal masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun.
Putusan tersebut membuat masa jabatan pimpinan kembali menjadi lima tahun.Â
Namun meski ada putusan MA, pemilihan tetap dilakukan. DPD pun terbelah menjadi dua belah kubu.
Kubu yang mendukung pimpinan baru dan kubu yang yang masih menganggap pimpinan lama adalah yang sah.
Terakhir, kisruh kembali terjadi di rapat paripurna pembukaan masa sidang, Senin (11/4/2017).
Sejumlah anggota menilai tiga pimpinan baru, yakni Oesman Sapta Odang, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis ilegal.
Mereka bahkan membawa kertas karton dengan ukuran besar yang berisi kalimat protes dan penolakan.
Kisruh itu berujung pada walk out-nya sejumlah anggota. Mereka kemudian memilih menyerahkan laporan reses kepada dua pimpinan lama, GKR Hemas dan Farouk Muhammad. (Baca:Â "Walk Out" dari Paripurna, Sejumlah Anggota DPD Hampiri Pimpinan Lama)
Pimpinan lama juga mengaku telah menyurati Ketua MA Muhammad Hatta Ali untuk mempertimbangkan kembali atau meminta Hatta Ali mencabut sumpah jabatan tiga pimpinan baru.
Tak berhenti sampai di situ, kedua belah pihak sama-sama tak memiliki niat untuk menginisiasi pertemuan bersama untuk meredam konflik. (Baca:Â Dua Kubu di DPD Enggan Inisiasi Pertemuan Bersama)
Padahal, beberapa pihak menilai pertemuan bersama penting untuk kembali menyatukan internal DPD yang terbelah.