YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Beberapa waktu terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sempat mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Pada kuartal IV tahun lalu, misalnya, nilai tukar rupiah sempat melemah hingga menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS.
Namun demikian, pada awal tahun 2019 ini, nilai tukar rupiah cenderung kembali menguat ke kisaran Rp 14.100 hingga Rp 14.200 per dollar AS. Dengan kondisi rupiah yang bergejolak tersebut, kondisi perbankan Indonesia cenderung stabil.
Ita Rulina, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, sejumlah pihak asing kerap menyoroti kondisi tersebut. Meskipun rupiah volatil, namun perbankan di dalam negeri masih dalam kondisi yang baik.
Baca juga: Kelemahan Perbankan Jadi Celah Perkembangan Fintech
“Kami dapat pertanyaan dari pihak asing, rupiah mengalami volatilitas, kenapa perbankan masih oke?” kata Ita dalam pelatihan wartawan ekonomi dan moneter BI di Yogyakarta, Sabtu (23/3/2019).
Menurut Ita, kondisi ini terjadi lantaran perbankan sangat menjaga agar rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) tidak mengalami penurunan. Hal ini berkaca dari kondisi krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008 silam.
“Perbankan menjaga banget supaya CAR tidak turun. Ini pengalaman masa krisis. Krisis kita dihantam pada 1998 dan 2008, yang parah di 1998,” jelas Ita.
Baca juga: BI Perketat Pengawasan Utang Luar Negeri Perbankan, Mengapa?
Data bank sentral menunjukkan, per Januari 2019, perbankan memiliki permodalan yang kuat. Rasio CAR yang relatif tinggi di level 23,12 persen, meningkat dibanding pada bulan Desember 2018 lalu.
Adapun berdasarkan kelompok bank, tingginya CAR perbankan didominasi Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III dan BUKU II. Secara umum, seluruh kelompok bank memiliki CAR di atas threshold.