JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden RI Joko Widodo diminta tegas menolak rencana penempatan perwira TNI di berbagai jabatan pada kementerian atau lembaga.
Hal itu disampaikan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, saat diskusi bertajuk "Quo Vadis Reformasi: Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil", di Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).
"Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas sipil yang dihasilkan pemilu mestinya bisa lebih tegas, bisa menolak wacana penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil," kata Syamsuddin.
Menurut dia, rencana tersebut melanggar Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Baca juga: Personel TNI Tak Dapat Jabatan, Komnas HAM Sebut Solusinya Pensiun
Pada pasal 47 ayat 2 UU TNI disebutkan bahwa militer aktif hanya dapat menduduki jabatan tertentu, misalnya yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan.
Jabatan yang diperbolehkan UU TNI untuk diduduki personel aktif, yaitu Kementerian Pertahanan, Kemenko Pulhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.
Selain itu, Syamsuddin berpendapat, jika rencana itu terlaksana, akan mengingkari agenda reformasi.
Baca juga: Kapuspen Ungkap Dasar Penerapan Rencana Restrukturisasi TNI
Tak hanya itu, penempatan perwira TNI aktif disebutkannya tak sejalan dengan supremasi sipil, yang merupakan hal yang niscaya dalam demokrasi.
"Ini pada dasarnya bukan hanya tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil, tapi juga mengkhianati agenda reformasi kita," terangnya.