Oleh Rizky Amelia Zein
KOMPAS.com - Di luar masalah anggaran, dampak riset yang belum signifikan, dan buruknya pengelolaan data riset di Indonesia, keengganan peneliti menyediakan akses terbuka pada data dan material studinya juga membuat sains jalan di tempat.
Manipulasi metode statistik juga dapat menghasilkan temuan riset yang tidak kredibel. Manipulasi ini dapat disebabkan kecurangan peneliti atau adanya konflik kepentingan periset dengan sumber dana dari industri yang hanya mau dengan hasil positif untuk mendukung pemasaran produk.
Kegelisahan ini dirasakan oleh beberapa peneliti yang tergabung dalam gerakan sosial #OpenScience (Sains Terbuka).
Saya mengurai masalah tersebut dengan argumentasi yang terinsipirasi dari artikel legendaris yang ditulis oleh Profesor Biostatistik dari Stanford University John Ioannidis, “Why Most Research Findings are False.”
Krisis kredibilitas sains
Keengganan mengungkap prosedur penelitian menyebabkan krisis kredibilitas dalam sains. Contohnya, pada 2011, Daryl Bem, ahli parapsikologi dari Cornell University menerbitkan temuan penelitiannya yang sangat bombastis mengenai fenomena cenayang (precognition) di jurnal amat bergengsi, Journal of Personality and Social Psychology, terbitan American Psychological Association (APA).
Bem melakukan 9 eksperimen, 8 diantaranya signifikan (nilai p<0.05) membuktikan bahwa manusia punya kemampuan memprediksi masa depan.
Baca juga: Di Balik Tsunami Palu, Kontroversi Ahli Asing dan Pemerintah Mencuat
Peneliti lain yang penasaran mencoba melakukan replikasi atas penelitian Bem gagal mendapatkan hasil yang signifikan, tak seperti yang diklaim Bem, meskipun sudah mengikuti secara teliti prosedur yang Bem tulis dalam artikelnya. Entah apa yang Bem lakukan sampai mendapatkan hasil yang mencengangkan tersebut.
Kasus lainnya terkait dengan riset obat-obatan. Penelitian meta-analisis mengenai efektivitas obat Anti-Depresan bernama Fluoxetine (Prozac) menghasilkan kesimpulan bahwa efek Prozac cenderung plasebo, sehingga tak ada manfaatnya sama sekali. Padahal obat tersebut sangat laris–pada 2005 saja total penjualan Prozac mencapai US$22 miliar di seluruh dunia.