KOMPAS.com - Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengkritik wacana debat calon presiden menggunakan bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Dia mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu bukan bangsa Arab atau Inggris.
"Jadi jangan ribut urusan debat Bahasa Inggris ataupun Arab, berdebatlah dengan bahasa rakyatnya karena yang dipimpin itu rakyat Indonesia," kata Dedi kepada Kompas.com, Sabtu (15/9/2018).
Menurut Dedi, kalau ingin menjadi pemimpin Indonesia yang mengerti budayanya sendiri, debat capres bisa dengan beragam bahasa daerah. Kalau perlu lengkap dengan baju daerahnya.
"Misalnya, debat dengan bahasa Sunda pakai iket kepala dan pangsi. Debat dalam bahasa bugis pakai baju khas bugis," katanya.
Lanjut Dedi, pemimpin itu bukan sekadar harus memahami bahasa asing sebagai bahasa pergaulan internasional, tetapi juga harus mengerti budayanya agar tidak salah dalam kebijakan.
"Dia harus mengerti bahasa rakyatnya. Yang mengerti bahasa rakyatnya itu adalah pertama bahasa dialektika bahasa daerahnya. Kedua keinginannya dari mulai bahasa tubuh dan budayanya. Karena kita hidup bukan dari orang asing. Kita hidup dari kekayaan dan kebudayaan yang kita miliki," tandas budayawan asal Jawa Barat ini.
Baca juga: Khofifah: Debat Capres dalam Bahasa Inggris, yang Paham Siapa?
Dedi mengatakan, seorang pemimpin disebut mencintai Indonesia harus diuji tentang pemahaman budayanya. Misalnya, pemimpin itu dia berasal dari mana, keluarganya dari suku mana. Kalau suku Sunda bisa diuji kesundaannya. Dari suku bugis bisa diuji bahasa bugisnya.
"Kalau ternyata dia tidak bisa dan tidak pernah mempelajari bahasa leluhurnya, berarti kecintaan terhadap Indonesianya hanya kamuflase," tegas mantan bupati Purwakarta dua periode ini.
Kepercayaan diri
Terkait bahasa, Dedi memandang bangsa Indonesia mengalami krisis kepercayaan diri. Bangsa Indonesia lebih menyukai bahasa dan budaya asing ketimbang milik sendiri.