Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kontroversi Dokter Terawan

7 April 2018   14:24 Diperbarui: 7 April 2018   14:38 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Mayjen TNI dokter Terawan Agus Putranto enggan menanggapi perihal keputusan pemberhentian sementara dari keanggotan IDI yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) terhadap dirinya, Rabu (4/4/2018).

Kesalahan memberikan informasi bahkan juga disampaikan oleh dokter yang hanya berdasarkan informasi dari "mbah Google" yang dianggap pasti benar. Akibatnya, masyarakat meneruskan informasi itu bahkan menerapkan dalam kehidupannya.

Oleh karena itulah tetap diperlukan adanya institusi yang harus siap mengingatkan agar dokter tidak merasa diri sebagai manusia setengah dewa, apalagi dengan menyeret nama pejabat. Di pihak lain, dokter jangan merasa masukan atau kritik yang disampaikan oleh sejawatnya langsung dilawan dengan cara yang tidak ilmiah dan profesional. Lambat atau cepat cara seperti ini pada akhirnya akan menjatuhkan nama baiknya sendiri.

Hal yang mutlak penting juga, dokter harus memahami bahwa apa yang dilakukan dalam prakteknya benar harus berdasarkan temuan ilmiah terkini yang diakui secara internasional, yang dikenal dengan sebut Evidence-based Medicine (EBM). Kalau tidak, maka dokter akan jatuh menjadi sekualitas dengan para penjual produk abal-abal seperti yang marak diiklankan di TV.

Iklan bohong

Ketika dokter tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kedokteran terkini, maka dia akan menjadi dokter tak berkualitas, bahkan bisa menjadi dokter abal-abal. Oleh karena itulah dokter jangan terseret menjadi "Jeng Anu" atau "Jeng ahli kanker", atau yang lain seperti yang sering ditayangkan di iklan jualan TV. Siapa bilang produk abal-abal yang diiklankan itu tidak ramai pembeli? Siapa bilang tidak ada nama terkenal yang membeli produk abal-abal itu?

Masyarakat sering mengatakan "sembuh" setelah mengonsumsi produk abal-abal yang diiklankan di TV itu. Lalu masyarakat mengatakan "hebat dia", karena itu pembelinya atau pasiennya banyak. Inilah yang sering dijadikan pegangan oleh penjual abal-abal di iklan TV itu. Celakanya, ini diberlakukan juga untuk dokter. Banyak orang mengatakan, dokter itu pasiennya banyak, berarti dia hebat. Padahal masyarakat tidak benar mengerti, arti sembuh itu yang seperti apa. Bukan  berarti kalau gejalanya hilang, penyakitnya pasti sudah hilang juga.

Oleh karena itulah di dunia kedokteran sering juga obat yang sudah beredar sekian tahun, kemudian ditarik dari peredaran. Mengapa? Karena berdasarkan uji klinik fase empat, ternyata obat atau cara pengobatan itu menimbulkan akibat buruk.

Masyarakat juga tidak mengerti bahwa nomor registrasi BPOM pada kemasan produk kesehatan, bukan berarti BPOM menyetujui manfaat dan keamanannya. Karena itu banyak sekali produk herbal dan kosmetik yang kemudian ditarik dari peredaran.  

Cara terhormat dan ilmiah profesional

Menghadapi kontroversi Dr Terawan ini, tentu diperlukan cara yang terhormat dan ilmiah profesional. Kontroversi ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pernyataan dan testimoni dukungan, walaupun menggebu-gebu melalui video sekalipun.

Pihak MKEK IDI tentu punya alasan mengapa pada akhirnya sampai mengeluarkan Surat Keputusan itu, dan ini harus kita hargai karena merupakan keputusan organisasi, bukan pribadi. Karena itu saya pikir tidak benar kalau ada yang menduga keputusan itu hanya karena alasan pribadi. Sebagai informasi, Ketua MKEK yang menandatangani Surat Keputusan itu ternyata juga seorang Spesialis Radiologi, sama dengan spesialisasi Dr Terawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun