KARANGANYAR, KOMPAS.com — Festival Bendera digelar para seniman bekerja sama warga Desa Gerdu, Kecamatan Karangpadan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, selama dua hari, Sabtu (30/12/2017) dan Minggu (31/12/2017).
 Para seniman dari berbagai lintas bidang bergabung menggelar berbagai acara memeriahkan festival yang digelar di petilasan seorang pahlawan nasional bernama Pangeran Samber Nyowo atau Raden Mas Said.
 Tak hanya para seniman, warga Desa Gerdu juga nampak antusias mengikuti beraneka rangkaian kegiatan festival bendera mulai dari arak-arakan bendera hingga pertunjukan seni dan workshop.
 Usai penancapan ratusan bendera karya 70 seniman diikutifashion show, Heri Priyatmoko, seorang sejarawan asal Solo menceritakan kisah perjuangan Pangeran Samber Nyowo menancapkan bendera perjuangan melawan penjajah Belanda dua setengah abad lalu di Tuk Ndero, Desa Gerdu.
"Raden Mas Said selama 16 tahun berjuang sendirian dikeroyok kompeni, kasunanan hingga kasultanan. Kemudian Raden Mas Said yang dikenal sebagai Raja Mangkunegara I bertapa di gunung selama tujuh hari tujuh malam melakukan olah spiritual untuk mendapatkan sebuah wahyu," ujar Heri.
 Setelah bertapa, kata Heri, Pangeran Samber Nyowo mendapatkan wahyu berupa bendera lalu ditancapkan di Tuk Ndero di Desa Gerdu, Kecamatan Karangpadan, Kabupaten Karanganyar. Penancapan bendera di Tuk Ndero di Lereng Gunung Lawu menjadikan semangatnya berperang melawah penjajah semakin berkobar.
 Pasca penancapan bendera di Tuk Ndero, Pangeran Samber Nyowo memiliki strategi perang semesta. Ia melibatkan seluruh warga untuk bersama-sama melawan penjajah Belanda. "Strategi itu cukup memusingkan Belanda," kata Heri.
 Tak lama kemudian, lanjut Heri, Pangeran Samber Nyowo memunculkan konsep perang jijemblungan atau perang gila-gilaan berupa perang sampai titik darah penghabisan. Tak hanya itu, lahir pula perang dedemitan yang membuat kocar-kacir pasukan Belanda.
"Perang dedemitan menjadikan Pangeran Samber Nyowo bersama pasukannya datang seperti hantu, mendadak tiba-tiba dan tidak diprediksi," jelas Heri.
 Konsep terakhir, kata Heri, Pangeran Samber Nyowo menggunakan taktik perang wewelutan seperti belut. Kondisi itu menjadikan pasukan Pangeran Samber Nyowo sangat sulit ditangkap Belanda.
 Untuk menghadapi Belanda, Pangeran Samber Nyowo tidak hadir sendiri. Masyarakat diajak bicara sehingga menjadi simbol kawula gusti yang egaliter. "Masyarakat di Tuk Ndero diajak berpendapat di tengah sawah bukan di pendopo yang mewah. Ini menjadi terobosan pemimpin yang merakyat," kata Heri.