Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamat Jalan Cak Leo!

21 Mei 2017   10:45 Diperbarui: 21 Mei 2017   17:20 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami pun berkenalan. Leo kala itu didampingi oleh penyanyi Cecilia (saat itu masih SMP). Mereka seperti biasanya, tiap menjelang hari ulang tahun negeri ini selalu diminta TVRI untuk menyanyikan lagu-lagu patriotik seperti "Nyanyian Tanah Merdeka", "Soedirman", dan lain-lain.

Saya kira, bukan karena judul-judul lagu itu yang membuat TVRI selalu mengundangnya untuk merayakan 17-an, melainkan cara Leo  bernyanyi itulah yang membuat pendengarnya tergugah semangatnya.

Bagi saya, cara Leo bernyanyi memang beda dengan kebanyakan penyanyi yang kita miliki. Leo  bernyanyi dengan seluruh jiwa raganya.

Itulah sebabnya, dia tidak pernah hanyut oleh penonton, tapi dialah yang menghanyutkan  penonton pada samudera raya nyanyiannya, ekspresinya, dan tentu saja syair yang dibawakannya.

Mengimani profesi itulah intinya. Sehingga apapun yang dia lakukan  di panggung selalu menggetarkan penikmatnya.

 

Oleh totalitasnya itu, penonton tidak peduli lagi dengan tempo lagu dan kerapihan bunyi yang dia tampilkan. Penonton hanya merasakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan sejarah panjang musisi sekaligus penyanyi yang setia dengan pilihan musiknya yang sunyi dari industri yang ingar bingar.

Penonton hanya ingin mencecap gelombang spirit Leo dari cabikan gitarnya, lengkingannya yang kadang lirih kadang menggelegar, matanya yang kadang lembut kadang tajam, juga cintanya yang bening pada bangsa dan ini negeri ini yang terpancar lewat syair-syair lagunya.

Saat kami berhadap-hadapan untuk wawancara, baik di rumah Puntadewa tempat Leo tinggal di Pondok Labu, maupun saat kami melanjutkan obrolan di Taman Ismail Marzuki, barulah saya menyesal, kenapa menghabiskan waktu sedemikian banyak untuk membaca referensi mengenai Leo. Sebab di hadapan saya waktu itu, Leo ternyata bukan penutur yang baik. Kalimat yang muncul dari Leo dia awali dengan, "eeee...piye yo...anu.. Dan diakhiri dengan tawa.

Begitulah, wawancara yang berlangsung berjam-jam dan dilakukan di beberapa tempat ternyata hanya menghasilkan tak lebih dari satu halaman catatan di lembar tabloid. Untuk memenuhi beberapa halaman lainnya kami punya siasat, yakni dengan memajang foto Leo dalam ukuran besar-besar.

Sehabis pertemuan itu, saya masih bertemu beberapa kali di Jakarta dan di Bali. Leo tetap seperti sedia kala saat saya mengenalnya. Langsing, bercelana dan berkaos hitam ketat, kadang bertopi, rapi, dan masih dengan suara yang romantis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun