Yusril menambahkan, membubarkan ormas dengan cara "menggebuk", jika hal itu diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku, akan membawa implikasi politik yang luas.
Sebab, sumpah jabatan presiden mengatakan akan berlaku adil serta memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, dan segala peraturan dengan selurus-lurusnya.
"Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang bagi pemakzulan," tutur Yusril.
"Kalau Presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan, secara diam-diam kita telah membuka pintu untuk Presiden bertindak sewenang-wenang," ujar Yusril.
(Baca juga: Refly Harun: Perppu Pembubaran Ormas Bisa Ancam Demokrasi)
Ia pun mengatakan, kedudukan Presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu. Lambat laut, Presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte lembaga lain termasuk pengadilan.
Menurut dia, di era Presiden Joko Widodo ini alangkah banyaknya putusan tata usaha negara yang berkaitan dengan politik yang sudah berkekuatan hukum tetap yang tidak mau dilaksanakan oleh pemerintah.
Ia juga mengatakan keinginan agar Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis adalah keinginan sejak lama, yang diperkuat kembali menjelang Reformasi 1998.
"Kalau kita membuka peluang kembali bagi kesewenang-wenangan, maka demokrasi dan konstitusipun akan kembali terkubur. Ini yang harus kita cegah agar tidak terulang kembali di negeri ini," ujar Yusril.
"Ujung dari semua ini adalah makin meluasnya rasa ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya ini dijadikan sebagai lampu kuning bagi Pemerintah Presiden Joko Widodo," kata dia.