JAKARTA, KOMPAS.com - Wali Kota Bandung Ridwan Kamil angkat bicara soal tudingan meninggalkan partai pendukungnya pada Pemilihan Wali Kota dahulu karena ingin maju sebagai calon gubernur pada Pilkada Jabar 2018 mendatang.
Pria yang kerap disapa Emil ini menilai bahwa sebutan "anak durhaka" yang dilekatkan kepadanya setelah menerima dukungan Parati Nasional Demokrat (Nasdem) untuk maju dalam Pilgub Jabar keliru.
Ungkapan terima kasihnya kepada Gerindra dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden 2014 yang lalu.
"Kalau ada yg berkomentar dikutip media mencitrakan seolah-olah saya tidak berterima kasih, saya kira keliru. Definisi terima kasih itu kan sudah saya tunjukkan. Saya ini Ketua Timses Prabowo (di Kota Bandung) pada 2014. Dengan begitu, Jokowi hanya menang di satu kecamatan, Prabowo 29 (kecamatan). Jadi poin saya adalah tidak betul saya tidak berterima kasih," ungkapnya saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com, Senin (15/5/2017).
(Baca juga: Gerindra Menutup Hatinya untuk Ridwan Kamil)
Emil mengakui bahwa komunikasi politik dengan Gerindra dan PKS yang mendukungnya dalam Pemilihan Wali Kota lalu memang mengalami kendala. Kesepakatan pun belum kunjung tercapai karena sejumlah syarat yang tidak bisa dipenuhinya.
Sementara itu, lanjut Emil, komunikasi dengan Nasdem berjalan mulus sehingga kesepakatan bisa segera tercapai.
"Jadi kalau ada orang yang bully saya anak durhaka, meninggalkan partai, enggak juga. Saya ngomong ke PKS untuk dukung saya, PKS bilang ingin mendahulukan kadernya. Saya ngomong ke Gerindra, Gerindra minta syarat sesuatu yang belum bisa saya lakukan," tuturnya.
"Partai lain masih (diminta) menunggu. Waktu ngobrol ke Nasdem, Nasdem enggak banyak pertimbangan karena sudah merasa yakin, kemudian mendeklarasikan. Pilihan menerima Nasdem karena Nasdem tidak memaksa saya jadi anggota partai dan tidak ada mahar, utamanya itu," tegas Emil kemudian.
Emil mengatakan, tidak ada rumus kaku dalam dunia politik bahwa kawan akan terus menjadi kawan. Namun, di Jawa Barat, lanjut dia, pola pikir seperti itu masih mendominasi.
"Di Jawa Barat ini, orang masih berpikir politik matematika. Kalau rumusnya A+B, sekarang tetap begitu. Padahal berbeda situasi kan, A+B nya memberikan syarat-syarat yang saya enggak bisa lagi ikuti rumus itu," tandasnya.