Menurut dia, soal Ahok sebenarnya soal bagaimana cara memperlakukan orang lain, bagaimana bersikap nguwongke (sebuah ekspresi orang Jawa yang berarti memperlakukan orang secara manusiawi). "Ya, Tebet menolak Ahok, tapi salah kalau berpikir dia ditolak karena dia Kristen,” katanya lebih lanjut.
Mahfudz menjelaskan bahwa bagi banyak orang, faktor lainnya adalah perilaku. Banyak yang menganggap Ahok tidak sopan dan sombong.
“Dalam Betawi, budaya dan tata krama sangat penting,” ujarnya. Lebih jauh dia menuturkan bahwa orang Betawi itu lurus-lurus saja, kalau ada non Betawi juga non-Muslim berbuat baik kepada orang Betawi maka kebaikan mereka akan dikembalikan sepuluh kali lipat. Sebaliknya kalau berbuat buruk akan dibalas dua puluh kali lipat!
Hal ini lantas membuat saya berpikir: Tidak ada keraguan bahwa Anies sangat diuntungkan dari sentimen anti-Ahok.
Ini menjadi satu hal bagi Anies karena sebagai pemimpin, dia harus berupaya keras memperbaikinya. Namun terdapat faktor lain: suka atau tidak suka, pemilih di Indonesia suka para kandidatnya beradab dan santun.
Ahok, dengan logat khas orang Sumatera-nya telah memikat sekaligus menakuti orang-orang di saat yang sama.
Sementara tak ada keraguan bahwa dirinya merupakan pelopor bagi kalangan minoritas Indonesia, kegagalan Ahok dalam mengubah perilaku membuat musuh-musuhnya lebih mudah untuk menyerangnya.
Selain itu, kebijakan-kebijakannya, termasuk penggusuran kawasan kumuh yang kontroversial, yang populer bagi kalangan kelas menengah, justru mendorong pemilih yang kurang mampu untuk memilih pesaingnya.
Jadi, ya, isu agama sangat krusial dalam pemilihan di Jakarta, namun begitu juga dengan isu-isu seperti kepribadian seseorang dan kebijakannya. Ini juga menjadi sebuah catatan pekerjaan: Anies harus menemukan cara untuk memutus lingkaran ketidaksetaraan bagi banyak wong cilik (orang kecil) yang telah memilihnya menjadi Gubernur.
Kegagalan dalam melakukan hal tersebut hanya akan membuatnya berbagi nasib seperti Ahok tanpa melihat kesalehannya.