Hal ini menjadi titik serang utama lawan-lawan Ahok dalam kampanye yang memecah-belah masyarakat. Ahok sendiri sedang menghadapi sidang penistaan agama yang berbelit-belit karena diduga telah menistakan ayat suci Al-Quran. Tak sedikit yang menganggap peradilan terhadap Ahok ini tidak adil.
Kembali ke Tebet, orang-orang mulai menyatakan dukungannya untuk Anies, tepat saat Djarot pergi. Dalam hitungan menit, insiden tersebut menyebar di media sosial dengan cerita bahwa Djarot telah “diusir” dari masjid.
Peristiwa ini menegaskan bagaimana Jakarta yang tengah memilih Gubernur hampir teracuni oleh sentimen anti-Ahok. Anehnya, kepolisian Jakarta Selatan mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa Djarot tidak diusir, walaupun dari video yang menyebar di media sosial, jelas terlihat sejumlah jamaah masjid meneriaki dia.
Berita tentang kejadian itu menarik perhatian saya, terutama sejak Tebet berubah (setidaknya sejak reformasi) menjadi pusat butik indie ("distro"), kafe dan restoran hipster yang menarik perhatian para pengunjung dari seluruh Jakarta.
Terlepas dari semua sentimen panas terkait Pilkada hari itu, "Bloop," salah satu distro terkenal di daerah itu, sedang dikerubungi pembeli remaja yang melihat-lihat T-shirts dan hoodies dengan desain-desain selera anak muda.
Karena itu, saya pun pergi ke sana untuk lebih memahami situasi kondisi di lapangan. Apakah yang tuliskan media-media mainstream, tentang kaum ekstrim yang telah mengambil alih kota dan sulitnya menantang hal itu atas nama kemoderatan dan keberagaman, sudah tepat?
Apakah Pilkada ini telah menjadi sebuah pertarungan langsung antara yang baik (Anies) dan buruk (Ahok)? Tak dapat dimengerti, mengapa masjid dan jamaahnya, pasca kasus pengusiran Djarot, menolak berbicara. Hal ini mendorong saya untuk mencari petunjuk di tempat lain.
Sampailah saya di jantung kota, Tebet Dalam, di situ banyak terdapat toko-toko funky, warung bebek goreng, serta sebuah biro perjalanan wisata umrah dan haji, yang dikelola oleh Mahfudz Djaelani, seorang tokoh masyarakat Betawi sekaligus mantan anggota DPR yang berusia tujuh puluh tahun dan berjenggot.
Mahfudz memiliki suara yang sangat serak tapi enak di telinga, seperti karakter suara Don Corleone dalam The Godfather yang diperankan Marlon Brando, tentu saja tidak dengan karakter jahatnya.
Sambil berceramah, dia menjelaskan pandangannya tentang Pilkada ini. "Buat orang Betawi, agama itu nomor satu, tapi bukan berarti kami tidak menerima orang-orang dari agama lain. Saya punya banyak tetangga Kristen, Tionghoa, dan Batak,” ujarnya.