JAKARTA, KOMPAS.com - Persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan KTP berbasis elektronik (e-KTP) telah memasuki sidang keempat, Kamis (30/3/2017).
Pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin, ada sejumlah hal menarik yang menjadi sorotan.
Dalam sidang kali ini, jaksa penuntut umum KPK menghadirkan tujuh saksi.
Mereka terdiri dari tiga penyidik yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Irwan Santoso, kemudian dari mantan anggota DPR RI yaitu Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar Sudarta, dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.
Pada sesi pertama, tiga penyidik dikonfrontasi dengan Miryam.
Berikutnya, giliran Ganjar, Agun, dan Agus yang diperiksa secara bersamaan.
Berikut hal menarik yang jadi sorotan dalam sidang e-KTP kemarin:
1. Saling bantah penyidik dan Miryam
Penyidik KPK Novel Baswedan membeberkan mekanisme pemeriksaan hingga kesaksian Miryam saat diperiksa di KPK.
Menurut Novel, saat itu Miryam mengakui adanya pemberian uang kepada anggota DPR RI.
Hal ini berbanding terbalik dengan pengakuan Miryam dalam sidang.
Novel juga membantah adanya tekanan penyidik kepada Miryam untuk mengakui adanya pembagian uang itu.
"Saksi sejak awal mengakui. Kira-kira kepentingan saya melakukan itu (mengancam) apa?" kata Novel.
Namun, setelah mendengar penjelasan penyidik, Miryam tetap bersikukuh merasa terancam oleh penyidik.
(Baca: Dikonfrontasi dengan Penyidik KPK, Miryam Tetap Bantah Isi BAP)
Ia masih tak mengakui isi berita acara pemeriksaan soal pembagian uang, dan menyebut bahwa itu hanya karangan belaka.
Menurut Miryam, penyidik Novel Baswedan saat itu menyatakan bahwa Miryam sebenarnya akan ditangkap sejak 2010. Pernyataan itu membuat politisi Partai Hanura itu tertekan.
"Itu bikin down saya. Kebayang anak saya saja," kata Miryam.
2. Miryam diancam 6 Anggota DPR RI
Novel mengatakan, saat diperiksa KPK, Miryam mengaku diancam sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014.
Setidaknya ada lima anggota DPR Komisi III yang dikenali Miryam, yaitu anggota Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo, anggota Fraksi Paryai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P) Masinton Pasaribu, serta anggota Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Sudding.
Sementara, satu anggota DPR lainnya tak diingat oleh Miryam. Ancaman tersebut berisi tekanan agar Miryam tak mengakui adanya pembagian uang untuk sejumlah anggota DPR RI.
"Dia disuruh tidak akui fakta perbuatan penerimaan uang. Bahkan yang bersangkutan diancam akan dijeblosin kalau sampe diakui," kata Novel.
Baca:
- Desmond: Saya Ingin Dihadapkan dengan Miryam dan Novel
- Masinton Pasaribu: Saya Ketemu Miryam "Say Hello" Saja, Tidak Ada yang Lain
- Disebut Menekan Miryam, Bambang Soesatyo Merasa Sangat Dirugikan
3. Video pemeriksaan Miryam dipertontonkan
Jaksa penuntut umum KPK memutarkan video pemeriksaan Miryam di ruang sidang yang diambil pada 7 Desember 2016.
Dalam video itu, Miryam terlihat duduk berhadapan dengan penyidik KPK Irwan Santoso. Ia tampak lancar membeberkan keterangan di depan penyidik.
Sementara itu, Irwan sesekali menuliskan sesuatu di laptop. Irwan juga tampak memperlihatkan lembaran kertas di sisi kirinya untuk dikonfirmasi kepada Miryam.
Salah satu pernyataan Miryam yang bisa ditangkap yaitu soal pembagian uang. Namun, tidak jelas kepada siapa uamg ditujukan.
"50 juta untuk Golkar. Kedua, saya terima dua kali, 100 sama 200. Nilai nominal pertama dibagi rata sesuai, seingat saya, 12 juta. Yang kedua, 50 juta sama 25 juta. Udah, itu aja," ujar Miryam dalam video itu.
(Baca: Jaksa Putarkan Video Pemeriksaan Miryam S Haryani dalam Sidang E-KTP)
4. KPK kantongi bukti keterlibatan Miryam dalam kasus lain
KPK punya bukti keterlibatan Miryam dalam kasus korupsi selain kasus e-KTP.
Penyidik KPK Novel Baswedan menyebutkan itu saat dikonfrontasi dengan Miryam dalam sidang.Â
Awalnya, Miryam tidak membenarkan isi berita acara pemeriksaan soal penerimaan dan pembagian uang.
Ia mengaku ditekan penyidik saat diperiksa sehingga mengarang isi keterangan. Menurut Miryam, sebelumnya, Novel mengatakan bahwa seharusnya ia telah ditangkap oleh KPK pada 2010. Hal itu yang membuat Miryam langsung "drop".
Novel membantah kalimatnya itu merupakan ancaman.
Menurut dia, saat itu Miryam ditunjukkan transkrip percakapan yang bersumber dari sadapan penyelidik KPK.
"Saya tunjukkan adanya transkrip, yang bersangkutan pernah terlibat dalam proses OTT (operasi tangkap tangan) 2010-2011. Pembicaraan penyadapan itu soal uang," kata Novel.
Namun, saat itu Miryam tidak ikut ditangkap. Bukti percakapan itu, nantinya akan digunakan dalam proses penyidikan selanjutnya.
"Penyidik berkeyakinan yang bersangkutan terbiasa melakukan itu, bicara soal uang dan terima uang terkait tugasnya sebagai anggota DPR," kata Novel.
5. Terdakwa sebut Miryam S Haryani 4 kali terima uang
Terdakwa dalam kasus e-KTP, Sugiharto, mengaku empat kali menyerahkan uang kepada Miryam. Total uangnya sebesar 1,2 juta dollar AS.
Menurut Sugiharto, pemberian pertama sebesar Rp 1 miliar. Kemudian pemberian kedua sebesar 500.000 dollar AS.
Kemudian, pemberian ketiga sebesar 100.000 dollar AS. Selanjutnya, pemberian keempat sebesar Rp 5 miliar. Mendengar pernyataan Sugiharto, Miryam masih saja mengelak.
"Tidak benar dan tidak pernah saya terima," kata Miryam S Haryani.
(Baca: Sidang E-KTP, Terdakwa Sebut Miryam S Haryani Empat Kali Terima Uang)
6. Miryam bisa jadi tersangka
Jaksa KPK Irene Putrie menganggap Miryam layak menjadi tersangka karena dianggap memberikan keterangan palsu di persidangan kasus e-KTP, sebagaimana diatur dalam Pasal 174 KUHAP.
Meski telah dikonfrontir dengan penyidik dan memutarkan video pemeriksaan, Miryam tetap tak mengaku menerima dan membagikan uang ke anggota DPR.
Jaksa meminta Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar Butar agar mengeluarkan penetapan tersangka dan penahanan Miryam.
Namun, Jhon menganggap ketetapan itu belum diperlukan.
"Tapi tak menutup kemungkinan, silakan kami menetapkan tersangka," kata Irene.
Selain itu, kata Irene, Miryam juga bisa dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 soal perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain dan atau menyalahgunakan wewenang karena jabatan tertentu yang dapat menyebabkan kerugian negara.
"Cukup bagi kita meminta agar saksi dinyatakan (sebagai tersangka). Mekanismenya ada, prosedur berita acara," kata Irene.
(Baca: Kasus E-KTP, Jaksa KPK Sebut Miryam S Haryani Bisa Jadi Tersangka)
7. Ganjar ditawari uang terkait proyek e-KTP
Dalam sidang, Ganjar Pranowo mengaku tiga kali ditawari uang terkait proses pembahasan e-KTP oleh mantan anggota Komisi II DPR RI Mustokoweni.
"Saya enggak ingat, sekali, dua kali atau tiga kali di dalam ruang sidang. Dia bilang, 'Dek, ini ada titipan'. Saya bilang tidak usah. Dari awal saya tidak mau terima, saya bilang ambil saja," kata Ganjar.
Ganjar juga membenarkan saat dikonfirmasi soal adanya bungkusan (goodie bag) yang diberikan seseorang kepadanya.
Awalnya, ia berpikir bungkusan itu berisi buku, namun perasaannya mengatakan itu bukan buku.
Ia menanyakan orang di sekitarnya siapa orang tersebut. Namun, tidak ada yang tahu.
Setelah itu, ia meminta stafnya untuk mengembalikan bungkusan tersebut.
Dalam surat dakwaan, Ganjar Pranowo disebut menerima suap sebesar 520.000 dollar AS dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Namun, hal itu dibantah Ganjar. Ia memastikan tidak pernah menerima uang terkait proyek e-KTP.
(Baca: Ganjar Pranowo Mengaku Pernah Ditawari Duit Proyek E-KTP)
8. Pesan Setya Novanto kepada Ganjar Pranowo
Hakim mengonfirmasi isi berita acara pemeriksaan Ganjar mengenai pertemuannya dengan mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto.
Pertemuan terjadi sekitar 2011-2012 di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Ganjar membenarkan pertemuan itu.
"Saya mau balik ke Jakarta, seingat saya Setya Novanto sampaikan bagaimana proyek e-KTP. Jangan galak-galak ya," ujar hakim Jhon Halasan Butar Butar, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (30/3/2017).
"Kita jumpa dalam situasi, kita salaman, tiba-tiba ditanya itu. 'Jangan galak-galak soal e-KTP'. Saya bilang, 'Iya, urusannya sudah selesai'," kata Ganjar.
Saat itu, proses pembahasan e-KTP di Komisi II DPR sudah selesai sehingga tak ada urusan lagi dengan Ganjar.
"Apa Anda galak soal e-KTP?" tanya hakim.
"Saya tidak tahu. Kita kan dalam sidang klarifikasi beberapa hal, berdebat item dalam anggaran apakah seperti ini, siapa nanti yang akan melakukan, dan pemerintah berkali-kali ajukan revisi," jawab Ganjar.
(Baca: Kepada Ganjar, Setya Novanto Minta "Jangan Galak-galak soal E-KTP")
"Mungkin karena saya sering bertanya," lanjut dia.
Ganjar mengatakan, saat itu Komisi II memang kerap mengkritisi soal uji coba e-KTP.
Hal yang dipertanyakan dirinya yakni apakah bisa diterapkan secara menyeluruh, apakah bisa menjamin sistemnya tak bisa dibobol.
Sebab, kata dia, e-KTP akan diterapkan di seluruh Indonesia. Ia berasumsi pertanyaan kritis itu dianggap galak oleh Novanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H