Mohon tunggu...
JTO
JTO Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berpengalaman mengelola perusahaan penerbitan media cetak dan televisi lokal. Sekarang penulis, pengajar dan pengelola rumah produksi. Memberi pelatihan jurnalistik untuk wartawan dan praktisi kehumasan. Memberi konsultasi bisnis media dan strategi komunikasi. Menulis buku Bisnis Gila (2004) dan Akal Sehat Dahlan Iskan (2014), Semua Orang Bisa Sukses (2015) dan Investasi Mulia (2016) email: intartosaja@gmail.com. Blog: www.catatanmuriddahlan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bodohnya Politisi soal Pupuk Organik

12 Februari 2014   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13921918621940007635

Dua tahun lalu, pramusaji restoran di Kelapa Gading, Jakarta Utara, masih bertanya, ‘’Nasinya pakai yang regular atau yang organik?’’ Petugas itu juga menjelaskan lagi apa bedanya nasi regular dengan nasi organik.

Sejak tahun lalu, pelayan rumah makan cepat saji itu tidak bertanya lagi. Dia langsung saja mengambil nasi organic yang sudah dibungkus kertas dengan cetakan berwarna hijau.

Petugas juga sudah tidak menyampaikan lagi kalau harga nasi itu lebih mahal daripada nasi anorganik yang dibungkus kertas bertinta merah muda. Karyawan itu langsung meng-entry di mesin penghitungnya begitu saja.

Menjelang akhir tahun 2013, penga

[caption id="attachment_311670" align="aligncenter" width="300" caption="Festival produk pertanian organik"][/caption]

laman dua tahun lalu di Kelapa Gading, terulang di Cirebon. Petugas menanyakan, apakah saya memilih nasi organik ata nasi biasa. Berarti tren nasi organik tengah berkembang di kota penting Jawa Barat di pesisir utara Jawa itu.

Namun di arena wisata Sibolangit, Sumatera Utara, tren nasi organik belum terlihat. Buktinya, saya tidak mendapat tawaran dari petugas. Dia langsung mengambil nasi dalam bungkus kertas bertinta merah muda. Karena mengira dia lupa bertanya, saya berinisiatif menanyakan, apakah ada nasi organic. ‘’Tidak ada Pak,’’ jawab pramusaji itu.

Apa boleh buat. Lapar tidak mau kompromi.

***

Saat ini bisnis makanan dan minuman organik sedang menemukan momentumnya. Gerakan kembali ke alam atau back to nature bangkit di seluruh dunia, dipicu oleh berbagai gejala penyakit yang bersumber pada bahan pangan tidak sehat atau kurang sehat yang dikonsumsi selama ini.

Datanglah sesekali ke supermarket kelas atas seperti Kemchick di Kemang, Jakarta Selatan, atau yang sekelas. Singgahlah di konter sayur dan bahan pangan seperti beras. Anda akan mudah menemukan sayur dan beras organik. Harganya lebih mahal dibanding komoditi sejenis yang berstandar umum. Namun penjualannya laris manis.

Harga komoditi pangan organik saat ini memang masih mahal. Sebab, pasarnya baru berkembang. Baru kelas menengah atas saja yang sudah memulai bergaya hidup sehat dengan mengonsumsi beras dan sayur organik. Namun, jangan salah. Jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini sudah lebih dari 30 juta orang. Jauh lebih besar dari penduduk Malaysia!

***

Tren hidup sehat seharusnya tidak boleh dilawan. Tren hidup sehat jangan dimatikan dengan semangat anti ‘’antitren’’. Hanya orang bodoh yang melawan tren positing dengan ‘’antitren’’.

Namun, begitulah kenyataannya. Anggota DPR RI memilih ditertawakan publik karena antitren dengan menolak subsidi pupuk organik. Padahal, dengan pupuk organik, petani akan menghasilkan produk pertanian organik yang sehat.

Lebih dari itu, dengan pupuk organik, petani bisa mengembangkan mix farming. Petani tidak tergantung pada pupuk buatan yang diolah dari gas alam, tetapi mengembangkan pertanian dengan peternakan terpadu.

Dengan tren pangan organik, petani pasti akan senang memelihara ternak sapi lagi. Selain dapat kencing dan kotorannya untuk pupuk gratis, sapinya juga bisa menolong usaha pemerintah berswasembada daging.

Saya yakin politisi di Senayan bukan orang bodoh. Apalagi konsep mix farming ini sangat mudah dipahami dengan logika yang sederhana. Tapi uang memang sering membuat orang cerdas mendadak bodoh. Setidaknya pura-pura bodoh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun