Mohon tunggu...
JTO
JTO Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berpengalaman mengelola perusahaan penerbitan media cetak dan televisi lokal. Sekarang penulis, pengajar dan pengelola rumah produksi. Memberi pelatihan jurnalistik untuk wartawan dan praktisi kehumasan. Memberi konsultasi bisnis media dan strategi komunikasi. Menulis buku Bisnis Gila (2004) dan Akal Sehat Dahlan Iskan (2014), Semua Orang Bisa Sukses (2015) dan Investasi Mulia (2016) email: intartosaja@gmail.com. Blog: www.catatanmuriddahlan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Redaksi Jawa Pos Pada Pemilu

30 Mei 2014   23:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Koran | Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Bisnis dan politik bisa ditemukan dengan mudah dalam industri media massa. Diperlukan strategi yang cerdas untuk mengelola keduanya.

Sejak bekerja di ‘’Jawa Pos’’ tahun 1991, saya mengalami beberapa kali pemilihan umum (pemilu). Dalam setiap pemilu, saya mengamati berbagai politik redaksi ‘’Jawa Pos’’ yang terus berubah dengan fleksibel.

Politik redaksi ‘’Jawa Pos’’ menarik untuk dikaji karena terdapat hubungan yang unik antara ‘’Jawa Pos’’ sebagai media massa dengan ‘’pemilik media’’ dan ‘’pemerintah yang berkuasa’’.

Pemilu 1992

Suatu pagi pada tahun 1992, saya sebagai wartawan ‘’Jawa Pos’’ dikejutkan dengan selembar sisipan bergambar logo Golkar. Saya wajar kalau terkejut, karena sejak awal ‘’Jawa Pos’’ memosisikan diri sebagai media massa yang netral. Dahlan Iskan yang saat itu masih menjadi direktur utama sekaligus pemimpin redaksi ‘’Jawa Pos’’ berkali-kali menegaskan bagaimana posisi ‘’Jawa Pos’’ dalam urusan pemilu: netral. Mengapa tiba-tiba ada gambar Golkar sehalaman penuh?

Saya hanya menduga-duga, sisipan itu muncul karena ada hubungan Golkar dengan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa. Pada zaman Orde Baru, bukankah tidak ada istilah yang tidak masuk akal? Semua bisa terjadi.

Sisipan itu rupanya berbuah protes. Banyak pembaca yang menanyakan apa maksud ‘’Jawa Pos’’ menyisipkan gambar Golkar pada salah satu edisinya.

Rupanya tidak hanya pembaca yang ‘’umek’’. Para politisi ‘’Jawa Timur’’ segera menggorengnya menjadi isu politik: ‘’Jawa Pos’’ mendukung Golkar. Isu ini berimbas ke pasar koran. Protes pembaca berbuah ‘’hukuman’’ dengan tidak membeli ‘’Jawa Pos’’.

Pemilu 1997

Beberapa tahun kemudian, menjelang pemilu 1997, Dahlan Iskan dalam sebuah rapat pimpinan Jawa Pos Group menyampaikan bahwa keputusan menerima sisipan Golkar adalah keputusan yang sangat disesalkan. Dampak keputusan itu terhadap penjualan ‘’Jawa Pos’’ sangat besar. Hasil sisipan tidak sebanding dengan turunnya penjualan ‘’Jawa Pos’’ dan butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan pembaca.

Belajar dari kasus tersebut, pada pemilu 1997, Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Pos Group memerintahkan seluruh pimpinan koran group agar menjaga netralitas koran masing-masing. Menurut Dahlan, masyarakat menginginkan koran yang independen. Bukan partisan. Untuk tujuan bisnis media jangka panjang, bersikap netral adalah cara menjaga kepercayaan pembaca agar tetap setia.

Pemilu 1999

Pada pemilu 1999, ‘’Jawa Pos’’ dihadapkan pada situasi yang sudah berbeda. Inilah pemilu pertama setelah jatuhnya Orde Baru menjelang akhir dekade 90-an. Pada saat itu, BJ Habibie yang menjadi presiden menggantikan Pak Harto setelah berkuasa 30 tahun.

Jatuhnya Orde Baru menimbulkan euphoria politik yang luar biasa di masyarakat. Orang lebih senang bicara politik ketimbang bicara tema yang lain. Kondisi ini rupanya juga merembet di kalangan wartawan.

Beberapa wartawan ‘’Jawa Pos’’ tidak hanya asyik bicara politik, tetapi terjun ke dunia politik praktis. Mereka ikut menjadi pengurus partai-partai baru yang muncul seperti PBB, PAN, PKB dan PDIP.

Situasi ini dipandang Dahlan sebagai tidak sehat dan mengganggu independensi ‘’Jawa Pos’’. Karena itu, Dahlan memberi kesempatan kepada wartawan yang terjun ke politik praktis untuk tidak aktif sebagai redaksi ‘’Jawa Pos’’.

Sebagai saluran, Dahlan kemudian menerbitkan sejumlah media partisan. Harian ‘’Duta Masyarakat Baru’’ untuk pendukung PKB, tabloid mingguan ‘’Amanat’’ untuk pendukung PAN, tabloid mingguan ‘’Abadi’’ untuk pendukung PBB dan tabloid mingguan ‘’Demokrat’’ untuk pendukung PDIP.

Pemilu 2004

Seperti pemilu 1999, pada pemilu 2004, politik redaksi ‘’Jawa Pos’’ adalah tetap netral. Namun demikian, Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Pos Group memberikan background informasi yang menarik tentang pentingnya ‘’partai tengah’’ yang kuat untuk Indonesia.

Partai tengah, menurut Dahlan, adalah solusi politik untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan di negara multikultur. Dengan partai tengah yang kuat, Indonesia tidak akan mudah dibelokkan dari track-nya.

Pemilu 2009

Pada pemilu 2009, secara resmi politik redaksi ‘’Jawa Pos’’ tidak berubah. Tetap netral. Paham pentingnya ‘’partai tengah’’ tetap dipegang.  Tidak ada hal istimewa pada pemilu kali ini, dari sisi politik redaksi.

Pemilu 2014

Pemilu 2014 merupakan pesta demokrasi paling pelik selama perjalanan ‘’Jawa Pos’’ maupun grupnya. Penyebabnya adalah, Dahlan Iskan selaku mantan CEO Jawa Pos Group ikut bertarung dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat.

Posisi Dahlan dalam konvensi Partai Demokrat, diakui atau tidak telah menimbulkan kegalauan para pemimpin surat kabar Jawa Pos Group. Mau netral susah, mau tidak netral juga susah.

Dahlan rupanya memahami situasi sulit itu. Maka, dalam tiga kali pertemuan pimpinan Jawa Pos Group selama 2013, Dahlan selalu meminta agar pimpinan media Jawa Pos Group bersikap netral.

Bagi Dahlan, bisnis media jangka panjang tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan jangka pendek. ‘’Kalau pun saya menang jadi presiden, selama-lamanya hanya 5 tahun atau 10 tahun. Sementara bisnis koran harus jalan terus,’’ jelas Dahlan.

Dari 212 koran Jawa Pos Group, hanya ‘’Jawa Pos’’ yang sejak awal menyatakan independen. Koran terbesar di Indonesia yang digawangi anak sulung Dahlan, Azrul Ananda, dengan konsisten menyatakan tidak berpihak dalam bentuk politik redaksi untuk memuluskan jalan bagi Dahlan menuju kursi calon presiden. Namun, koran-koran Jawa Pos Group lainnya umumnya dalam kondisi ambigu.

Ketika konvensi Calon Presiden Partai Demokrat usai dan Dahlan yang memenangkan konvensi tidak diusung sebagai calon presiden, seluruh media Jawa Pos Group menjadi lebih mudah menentukan sikap redaksinya.  Jawa Pos Group bisa dengan tegas memosisikan diri sebagai media independen.

Hal ini bisa dibaca dari pola-pola pemberitaannya, sejak konvensi dinyatakan berakhir.

Bahkan, ketika berbagai media gencar memberitakan menggiring opini kalau Dahlan Iskan dan pendukungnya ke salah satu capres/cawapres, ‘’Jawa Pos’’ malah memberitakan sebaliknya. ‘’Jawa Pos’’ edisi Jumat (30/5) menurunkan headline ‘’Pendukung Dahlan Iskan Bebas Pilih Capres’’.

Sikap politik redaksi Jawa Pos Group pasca konvensi capres Partai Demokrat ini perlu dicermati oleh para pengatur strategi pemenangan capres 2014. Siapa pun yang berhasil menggandeng Dahlan Iskan, dipastikan belum tentu berhasil menggandeng medianya.

Joko Intarto, wartawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun