Lembaga swadaya masyarakat Internasional WWF-Indonesia berkeinginan untuk mepertahankan dan melestarikan komoditi udang windu. Mengingat saat ini sudah banyak petambak udang di Indonesia meninggalkan udang windu beralih ke komoditi udang vannamaei. Padahaludang windu merupakan komoditi perikanan asli Indonesia dan masih memiliki nilai ekonomis tinggi. Beralihnya sebagian besar petambak udang windu karena “Tiger Prawn” itu sedang dilanda banyak masalah. Untuk mengajak petambak agar tidak meninggalkan udang windu maka WWF-Indonesia merangkul penyuluh perikanan dan pembudidaya di kecamatan Suppa Pinrang mengaplikasikan budidaya udang windu system BMP.
Koordinator Perikanan Budidaya di Program Kelautan WWF-Indonesia, Candhika Yusuf mengatakan persoalan budidaya udang yang terjadi di Indonesia saat ini antara lain konversi lahan, penggunaan pestisida, pencemaran limbah, ketersediaan benur rendah dan persoalan penyakit.”Udang windu sekarang banyak masalah sehingga diperlukan solusi agar bisa bangkit kembali,” ungkap Candhika Yusuf dalam pertemuan dengan penyuluh perikanan dan petambak udang di desa Wiringtasi kecamatan Suppa, Selasa (18/3). Dalam pertemuan yang berlangsung di sekretariat kelompok pembudidaya ikan Samaturue sebagai awal kerja sama pengadopsian praktik pengelolaan ramah lingkungan atau Better Management Practices (BMP) Budidaya Udang Windu Tanpa Pakan dan Tanpa Aerasi pada tambak udang di desa Wiringtasi kecamatan Suppa. Program ini khusus membantu pembudidaya tradisional udang windu di daerah itu. Senior officer Aquaculture WWF-Indonesia, Wahyu Subachri menjelaskan, BMP adalah panduan dikeluarkan WWF-Indonesia untuk membantu penerapan praktik perikanan bertanggung jawab secara sosial dan berkelanjutan baik, ekonomi dan kelestarian lingkungan. BMP ini sesuai standar Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budidaya atau Marine Stewarship Council (MSC) untuk perikanan tangkap.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pinrang, Ir. H. Andi Budaya Hamid mengatakan potensi lahan budidaya udang di Pinrang cukup besar, namun produktivitasnya belum maksimal karena persoalan teknis dan sumberdaya petambak. Untuk itu, perlu tindakan strategis melibatkan seluruh stakeholder penting dalam dunia budidaya udang. Yaitu pelaku utama,penyuluh perikanan, pengusaha, asosiasi, pemangku kebijakan, perbankan, dan lembaga swadaya masyarakat seperti WWF-Indonesia, Dikatakan Andi Budaya Hamid, Pinrang salah satu sentra produksi udang windu di Sulsel dengan pasar utama Jepang. “Ini tantangan besar karena pasar ekspor menerapkan aturan ketat, mulai dari aspek legalitas tambak, dan proses budidaya hingga pasca panen harus sesuai prinsip keamanan biodiversitas, keamanan pangan dan pelestarian lingkungan.” Ungkap Ir. Nurdin, Kepala Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Pinrang. Ditambahkan Candhika Yusuf, dengan kondisi ini, pembudidaya udang windu Pinrang harus memulai langkah – langkah antisipasi dengan menerapkan prinsip-prinsip budidaya ramah lingkungan dan bertanggungjawab.
Menurut Idham Malik, perwakilan WWF-indonesia di Sulawesi selatan, dipilihnya kabupaten Pinrang khususnya kecamatan Suppa sebagai lokasi aplikasi BMP karena potensi udang windu Pinrang cukup besar dan hingga saat ini masih banyak petambak di Suppa membudidayakan udang windu. “Selain Pinrang WWF-Indonesia sudah lebih awal menjalin kerjasama dengan pemkab Tarakan Kaltim dan Aceh dalam penerapan BMP budidaya udang windu di tambak tradisional,” kata Candhika Yusuf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H