Konsumen udang di Jepang menginginkan agar bahan pangan yang dikonsumsinya bebas dari residu bahan kimia. Pasar udang windu di negeri Sakura tersebut berharap dalam proses produksi udang windu di Indonesia ramah lingkungan agar bisa berkelanjutan. Penyuluh perikanan di kabupaten Pinrang mempunyai peran penting dalam merespon keinginan konsumen luar negeri itu. Untuk mewujudkannya maka digelar pelatihan pemberdayaan kelompok agar mampu memanejemen kegiatan budidaya udang windu yang berkelanjutan.
Alter Trade Indonesia (Atina) Sidoarjo dan Pinrang kerjasama dengan Walmart Foundation, IDH, Sutainable Fisheries Pathnership dan Koperasi Pegawai Clebes Mina Sejahtera serta penyuluh perikanan menyelenggarakan pelatihan kepada 200 orang pembudidaya tambak di tiga lokasi di Pinrang. Ketiga lokasi tersebut masing-masing Jampue kelurahan Lanrisang kecamatan Lanrisang, desa Tasiwalie kecamatan Suppa dan petani tambak di desa Paria kecamatan Duampanua yang berlangsung mulai 27-29 April 2016.
Staf Atina Sidoarjo, Hendra menjelaskan, kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk mengajak pembudidaya udang windu di Pinrang agar secara perlahan mengurangi penggunaan pupuk kimia dalam budidaya udang. “Materi yang disampaikan oleh narasumber tentang zona manajemen dan budidaya udang yang berkelanjutan tidak menggunakan bahan kimia dan peran kelompok dalam penanganan penyakit,” ungkap Hendra di Suppa, Kamis 28 April kemarin.
Dikatakan Hendra pelatihan untuk pembudidaya udang ini sejalan dengan program pemerintah kabupaten Pinrang yakni menuju produksi udang yang ramah lingkungan dan bersinergi dengan PT Atina yang selama ini membeli udang windu dari petani tambak tradisional.
Narasumber dalam pelatihan tersebut Jaja Subagja Dinata, petambak sukses dari pantura mengemukakan, untuk keberhasilan budidaya udang diperlukan pengaturan wilayah. Selama ini isu utama yang terjadi dalam pengaturan wilayah budidaya udang antara lain pengaruh dari lokasi budidaya udang di suatu wilayah memberikan beban terhadap perubahan dan kerusakan lingkungan. Selain itu kata Jaja, kawasan budidaya belum memperhatikan kemampuan daya dukung sehingga beban kawasan makin berat.”Resiko penularan penyakit dalam satu kawasan budidaya makin tinggi karena tidak dikelola melalui manajemen secara terkoordinasi antara pembudidaya,” papar Jaja.
Menjawab keluhan petambak tentang penyakit udang yang melanda beberapa kawasan pertambakan di Pinrang, Jaja mengatakan, sampai saat ini belum ada obat yang ampuh untuk menyembuhkan penyakit viirus yang menyerang udang di tambak. Kenatian udang di tambak tidak semua diakibatkan oleh penyakit, namun bisa disebabkan oleh perubahan kualitas air tambak terutama setelah turun hujan. Karena itu Jaja mengharapkan agar petambak menebarkan kapur dolomit di tambak setelah turun hujan untuk menetralkan pH air karena air hujan banyak mengandung asam yang dapat menurunkan pH air tambak.
Yodding salah seorang petani tambak di desa Tasiwalie Suppa mengatakan sangat sulit untuk tidak menggunakan pupuk kimia dalam budidaya udang windu. Karena penggunaan upuk urea dan TSP di tambak sudah turun-temurun. Yodding mengakui selama ini belum pernah mencoba pupuk organik untuk udang di tambak. Menurut Jaja Subagja, banyak pupuk laternatif untuk menggantikan fungsi pupuk sintetik tersebut. “Misalnya limbah pertanian berupa jerami, sekam bisa diolah menjadi pupuk pengganti urea dan TSP seperti jerami padi, sekam, dedak dan bahan-bahan organik lainnya,” ungkap Jaja. Bahan-bahan organik tersebut dapat diolah menjadi pupuk kompos dan pupuk bokasi yang dapat dibuat sendiri oleh petani sehingga dapat menghemat biaya. Pupuk organik hasil fermentasi dari jerami padi dapat menumbuhkan plankton di tambak untuk pakan udang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H