Mohon tunggu...
Abdul Salam Atjo
Abdul Salam Atjo Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuluh Perikanan

Karyaku untuk Pelaku Utama Perikanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Daya Saing Udang Windu Pinrang

20 Februari 2016   14:08 Diperbarui: 20 Februari 2016   14:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udang windu (Penaeus monodon) sejak dahulu hingga saat ini merupakan salah satu komoditas unggulan sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang. Produksi udang windu yang dihasilkan oleh pembudidaya di daerah ini  memiliki daya saing yang tinggi sehingga sangat diminati oleh pasar manca negara khususnya Jepang. Udang windu Pinrang unggul karena diproduksi secara ramah lingkungan dengan menggunakan pakan alami Phronima. Tak berlebihan apabila kabupaten Pinrang berobsesi ingin mengembalikan kejayaan udang windu seperti di era tahun 1980-an.

Ketika itu, terjadi booming udang windu di enam kecamatan wilayah pesisir di kabupaten Pinrang. Pada masa itu, budidaya udang windu diandalkan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat pesisir.  Permintaan udang windu  yang terus meningkat dengan tingkat harga yang relative tinggi mendorong pembudidaya memacu tingkat produksi tambak dengan menggunakan antibiotik, pestisida serta bahan dan zat kimia secara berlebihan. Akibatnya, berkembang organism patogen yang tahan terhadap obat-obatan dan bahan kimia tertentu serta rusaknya keseimbangan lingkungan. Booming udang windu yang terjadi sepanjang tahun 1980-an hingga awal 1990 berimplikasi pada semakin bertambahnya luas lahan tambak yang mencapai lebih dari 15.000 ha. Mengingat, pada saat itu banyak lahan sawah yang tidak memenuhi persyaratan teknis  dipaksakan untuk dialihfungsikan menjadi lahan budidaya udang. Akibatnya, bermunculan berbagai masalah yang menyebabkan gagal panen terjadi dimana-mana.

Budidaya  tambak yang tidak memenuhi  syarat telah menyebabkan kerusakan pada lingkungan, penurunan produksi tambak dan kualitas produksi udang, berjangkitnya wabah penyakit oleh virus dan bakteri. Akibat serangan patogen khususnya virus White Spote Syndrome Virus (WSSV) dan  Vibrio Harvey. Selain itu, pemberian pakan secara berlebihan menyebabkan peningkatan cemaran organik dalam tambak.

Kini, Udang windu mulai bangkit. Prouksi dari tahun ke tahun terus merangkak.Sejak tahun 2005 ditemukan populasi phronima suppa (Phronima sp) jenis makanan udang windu yang hidup secara alami pada perairan tambak di desa Wiringtassi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa.   Berkembangnya pakan alami Phronima menjadikan kabupaten Pinrang sebagai daerah pemasok udang windu tersebesar di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2013 produksi udang windu terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu 2.973,2 ton, meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 2.931 ton.  Pada tahun 2015 meningkat  3.162,70 ton dari tahun 2014 yang hanya 3.125,30 ton. Di Pinrang, luas lahan potensi perikanan tambak mencapai 15.675 ha dengan pola budidaya tradisional, semi intensif, polikultur udang dan bandeng serta sedikit budidaya pola intensif. Kawasan tambak terbagi di enam lkecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.5675 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cemapa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha).

            Penggunaan pakan alami Phronima dalam budidya udang windu mendapat respon positif dari konsumen udang di luar negeri. Karena sistem budidaya udang windu yang dilakukan oleh petambak di kecamatan Suppa dinilai ramah lingkungan. Konsumen udang di Jepang menyebutnya budidaya udang organik, yaitu budidaya udang dengan menggunakan pakan alami phronima.Memanfaatkan phronima sebagai pakan alami, para petambak mampu meningkatkan pendapatan keluarga. Betapa tidak, produktivitas tambak bisa mencapai 150–300 kg per hektar. Padahal tambak udang yang tidak menggunakan Phronima paling banter bisa panen 25-75 kg per hektar. Hebatnya lagi berkat penggunaan phronima, ratusan hektar tambak mangkrak bekas lahan budidaya udang windu dan bandeng intensif yang sudah tidak  produktif saat ini bisa difungsikan lagi dengan panen 4-5 siklus pertahun. Tak heran jika  pemanfaatan phronima sebagai pakan alami udang windu kini telah menyebar di sebagian besar wilayah Pinrang.

Pakan alami Phronima mengusik keingintahuan akademisi untuk meneliti lebih jauh pakan alami mirip artemia itu. Adalah Prof M Hattah Fattah, Dosen Fakultas  Ilmu Perikanan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang tergerak untuk meneliti phronima. Riset yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hewan kecil yang menyukai dasar tambak liat berpasir merupakan  keluarga udang-udangan yang masuk dalam genus Phronima sp.  Untuk tumbuh dan berkembang biak Phronima sp memerlukan kisaran parameter kualitas air seperti suhu 28–25derajat celsius, salinitas 28–40ppt dan idealnya 38 itu sudah bagus, oksigen terlarut 0,3–4,9 ppm, ammonia 0,080–1,600 ppm dan Nitrit 0,056–1,329 ppm. Untuk penggunaan phronima, sebelumnya telah dipersiapkan benur tokolan  umur minimal 21 hari dan yang terbaik 25 hari bersama dengan petak pembesaran. Kemudian bisa dipindahkan setelah dipastikan populasi phronimamencukupi untuk kebutuhan 10.000–15.000 ekor benur tokolan. Dalam masa pemeliharaan dan perlakuan pengontrolan populasi phronima, dilakukan pemupukan susulan berupa pupuk cair organik  setiap minggu dan pupuk urea, SP dan Za serta dedak secukupnya untuk perkembangbiakan phronima. Menurut salah seorang pembudidaya di Sabbangparu, Baharuddin, beberapa hal yang perlu dipersiapakan ketika populasi phronima menipis dan terjadi kekurangan pakan selama fase pemeliharaan maka petambak memberi pakan tambahan berupa ikan rucah. Setelah dipelihara selama 50–60 hari udang sudah bisa dipanen sebanyak 150–200 kg dengan ukuran size 30–40 ekor/kg. Kemudian tambak dipersiapkan kembali untuk siklus berikut, sehingga dalam setahun pembudidaya bisa panen udang windu 3–5 kali setahun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun