Mohon tunggu...
Ahmad Muzakky
Ahmad Muzakky Mohon Tunggu... -

sharing by writing

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Biaya Pemilukada Memicu Tindak Pidana Korupsi Elit Daerah

30 April 2012   13:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:55 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan kepala daerah secara langsung yang telah terlaksana adalah perwujudan dari pesta demokrasi yang benar-benar dirasakan langsung oleh rakyat. Bukan berarti pelaksanaan system pemilihan langsung yang baru ini berjalan tanpa masalah. Selain dari kecurangan yang kerap dilaporkan ke MK, masalah lain yang muncul adalah mahalnya biaya kampanye yang berdampak pada praktek korupsi sebagai pengganti biaya kampanye yang dikeluarkan oleh pemimpin pada saat masih menjadi calon. Lalu berasal dari manakah biaya kampanye hingga milyaran rupiah tersebut? Kecil kemungkinan para calon gubernur ataupun bupati menggunakan dana pribadi. Lantas seberapa besar dana yang digunakan untuk kampanye? Menurut data dari Bank Indonesia (BI) memperkirakan belanja konsumsi daerah dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2010 mencapai Rp 4,2 triliun. Hal tersebut akan dimulai di triwulan II-2010.

Pendapat Budi Kurniawan, Pengajar Mata Kuliah Sistem Kepartaian dan Pemilu pada Ilmu Pemerintahan FISIP Unila dalam blog.unila.ac.id, Pilkada selalu dimanfaatkan sebagai ajang meraih kekuasaan bagi elite politik dan membangun koneksi bagi pemilik modal serta mempertankan status quo bagi negara, dalam hal ini birokrasi. Logika ”Pasar” Partai Politik Dalam beberapa kasus suksesi kepala daerah, yang terjadi adalah transaksi ekonomi yang sering kita kenal dengan ”logika pasar” dalam teks book ekonomi. Pasar adalah tempat bertemunya permintaan dan penawaran. Dalam konteks pilkada, yang terjadi adalah calon kepala daerah bertindak sebagai penawar untuk dicalonkan sebagai kepala daerah dan parpol adalah penjual jasa pencalonan sehingga bertemulah penjual (parpol) dan pembeli (calon kepala daerah)

Biaya yang dikeluarkan oleh elit di daerah sangat besar. Bila dikalkulasikan, dan dibandingkan dengan gaji elit didaerah, katakanlah bupati, tidak akan mampu untuk menutupi biaya kampanye. Apabila calon elit tersebut berhutang maka akan mengalami kesulitan dalam pembayaran kepada pemberi hutang. Sebaliknya apabila dana yang yang dipakai oleh calon elit tersebut, katakanlah sumbangan dari suatu perusahaan, maka cara pembayaran yang dilakukan adalah dengan imbalan balas jasa. Calon terpilih akan memudahkan urusan birokrasi, surat-menyurat, dan perizinan untuk memudahkan kepentingan perusahaan tersebut di daerah calon tersebut terpilih.

Masih dikutip dalam tulisan Budi Kurniawan, dalam ekonomi politik dikenal Perspektif Rational Choice Theory. Dalam teori ini terdapat sebuah perspektif yang cerdas untuk melihat relasi antara berbagai kelompok kepentingan yang dikenal dengan Perspektif Rational Choice Theory. Perspektif ini memperlihatkan kepada kita bahwa dalam setiap kebijakan publik yang dibuat merupakan hasil tarik-menarik berbagai kelompok kepentingan, baik itu elite politik, pemilik modal, bahkan negara untuk memaksimalkan kepentingannya. Elite politik mempunyai kepentingan untuk menguasai jabatan politik. Pemilik modal mempunyai kepentingan untuk terus mengakumulasikan investasi. Negara mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan pelayananan publiknya bagi rakyat yang ia layani (blog.unila.ac.id).

Terlepas dari teori di atas, permasalahan terbesar yang dihadapi oleh administrator publik atau elit daerah adalah biaya kampanye pemilihan kepala daerah secara langsung yang menyebabkan maraknya perilaku memperkaya diri sendiri yang pada intinya adalah untuk melunasi hutang-hutang kampanye.

Lagi, Gamawan menawarkan solusi agar membaatasi biaya kampanye dan menyederrhanakan system kampanye kepala daerah dan larangan membebani kepala daerah. Dengan begitu, biaya kampanye akan terpangkas dan tidak terlalu mahal. Dengan begini calon kepala daerah terpilih tidak akan berfokus pada cara bagaimana mengembalikan modal kampanye yang telah dihabiskannya dari sponsor ataupun pendukung “sukarela” yang menyumbangkan hartanya untuk digunakan dalam keperluan kampanye. Calon kepala daerah terpilih akan focus pada program dan janji-janji politiknya yang telah disampaikannya pada saat kampanye terhadap masyarakat yang telah memilihnya.

Banyaknya bupati atau kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebaiknya dijadikan cerminan untuk berbuat bijak, dan bermain politik bersih. Menjadi pemimpin adalah panutan yang harusnya memberikan contoh baik kepada masyarakat, bukan sekedar nafsu memburu jabatan dan kehormatan.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun