Mohon tunggu...
Ahmad Muzakky
Ahmad Muzakky Mohon Tunggu... -

sharing by writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biola dan Bunga Merah Jambu

30 April 2012   15:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:54 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1.Kertas-Kertas Putih

Bunga merah jambu itu tiba-tiba mendatangiku. Dia menggunakan rok merah, dan kemeja putih berenda di lehernya. Dia tampak cantik dengan rambut terikat rapi. Yang selalu ada di tangannya adalah kertas-kertas putih kosong.

“aku ingin memiliki lelaki itu. Lelaki yang tampan menurutku. Andai ia tahu aku akan bersedia hidup berguling lumpur bersamanya, pasti dia akan mau. Tapi dia belum tentu mau hidup dalam diam bersamaku”

“ katakan saja padanya”, celetukku.

“aku seorang wanita, dan dia adalah lelaki, lelaki kecilku. Dia tak akan paham apa maksudku. Dia dengan dunianya. Tak menghiraukanku.”

Dia mencintai lelaki yang lebih muda tiga tahun dari usianya. Bukan masalah. Lalu apa yang membuatnya begitu gusar?

“Lelaki kecilmu tak akan pernah tahu kalau kamu tidak memberitahunya.” Lanjutku.

“ah, tidak, aku tak punya nyali. Biar saja aku lihat dia dari sini. Aku menikmatinya. Aku tak akan mengganggu hidupnya. Aku tak akan masuk kedunianya lagi.”

“lagi? Berarti kamu sudah pernah bersamanya?”

“iya, aku pernah, sepintas saja aku masuk ke hatinya, tapi entah apa, sepintas juga aku bahagia. Dia lelaki kecilku yang tampan, terlalu jauh aku menantinya, terlalu jauh aku bermimpi dan berharap. Dia jauh di ujung dunia sana, dan aku berada di ujung dunia sini. Sepintas saja aku bersamanya, tapi panjang sekali penderitaanku karena rindu yang sangat dalam padanya. Dia lelaki kecilku yang tak tahu apa-apa.”

“kamu rindu padanya?”

Sambil aku menatapnya, bunga merah jambu itu diam. Dia menyimpan emosi yang meledak-ledak, siap memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaanku, yang sebenarnya tak sesulit pertanyaan kubur sepertipertanyaan pada diriku sendiri tadi. Aku menunggu jawaban darinya. Dia terlihat sulit mengontrol emosinya sendiri.

Lalu ia mulai melanjutkan masih dengan emosi yang meletup-letup.

“hatiku sesak. Otakku rusak. Aku sudah gila tentangnya.”

Bunga merah jambu itu berlalu sembari mengusap air matanya yang semenjak pertanyaan terakhirku dijawabnya telah mengalir deras. Entah kemana dia. Aku tak tahu isi di otaknya, bagaimana cara dia memikirkan lelaki yang ia sebut sebagai lelaki kecilnya. Betapa sudah tidak dapat lagi dicegah. Kasihan bunga merah jambu itu. Dia tak pernah berucap sepatah kata pun pada lelaki kecil pujaannya. Dia meninggalkanku dan kertas yang berisi tulisan percakapan kami barusan. Dia, wanita bisu yang dilanda cinta.

Aku penasaran ssebenarnya dia mau kemana dengan dandanan serapi itu? Oh, aku lupa. Dies natalis fakultasku.

2. dawai Biola

Kemudian sesaat aku ingat, aku punya janji dengan bunga merah jambu itu, dia berlari tak terlihat lagi. Mungkin masih menitihkan air matanya tadi. Di kampus ada perhelatan konser musik di halaman fakultasku. Panggung terbuka untuk umum, dan satu jam lagi sudah akan di mulai. Dies natalis fakultas. Bagi sebagian teman-teman mahasiswa, ini adalah perhelatan yang mereka tunggu-tunggu, karena bintang yang akan mengisi panggung tersebut adalah para lelaki penabuh alat musik dan satu orang penyanyi lelaki yang lagu-lagunya mewakili perasaan getir, hingga mereka yang sedang dilanda cinta seperti anak bau kencur yang pertama kedatangan cinta. Ah, cinta. Itu pula yang membuat Maya, bunga merah jambu itu, tergesa-gesa dan bersemangat menyambut malam ini. Padi. Grup band yang akan melantunkan lagu dan musik mereka. Bukan Padi yang maya kejar, bukan pula padi yang membuat Maya, malam ini berdandan, bukapula Padi yang membuat maya tersedu sedan. Bagi Sahabat Padi ini malam yang mereka tunggu-tunggu, bagi Maya ini pula malam yang ia idamkan karena lelaki kecilnya akan satu panggung bersama Padi dan, lelaki kecilnya itu akan menggesek dawai biola mengiringi lagu klasik Mahadewi.

Berita menggemparkan dan membanggakan bagi seantero jagat kampus. Nama fakultasku semakin terdengar nyaring di luar. Endar, nama lelaki kecil yang akan mengoyak dawai biola yang digendongnya nanti hingga menjeritkan nada-nada yang menyayat malam mengiringi Mahadewi turun dari langit merasuki telinga-telinga. Maya memanggilnya lelaki kecil karuan karena dia lebih muda. 20 tahun usianya.

Dawai biola itu yang akan menjadi bahasa yang akan didengar Maya, menjadi nyanyian semalamnya, menjadi menit-menit menyayat hatinya. Aku kejar Maya, sembari berpikir betapa bodoh dan pelupa diriku, bisa-bisanya lupa acara yang aku sendiri menantikannya.

Aku bersiap, bergegas dan segera menyusul Maya. Maya, perempuan yang tak pernah bicara itu, tak terlihat di antara ratusan penonton di depan panggung. Mataku menyisir dari ujung hingga ujung mencari perempuan itu. Aku berjanji menemaninya malam ini. Aku berdesakan diantara teman-teman fakultasku. Aku tanyakan ke mereka tak ada yang tahu, aku terus mencari ke sudut-sudutdimana mata dengan leluasa dapat melihat segala isi panggung. Mataku terus mencari, memastikan setiap perempuan yangmemakai kemeja berwarna putih dan rok merah.

Ternyata dia berada di depan kiri panggung, entah paetimbangan apa hingga ia berada di situ. Aku berusaha menerobos kawanan penoton dari ujung kanan melewati mereka yang sedang duduk bersilah menunggu acara dimulai. Semua penonton duduk bersilah, merakyat, setting panggung pun tidak terlalu tinggi. Hanya orang-orang di bagian belakang yang akan berdiri berdesakan. Sampailah aku di tempat maya duduk rapi, menggengam kertas putih yang selalu ia bawa.

“May, maaf, aku tadi lupa kalau acaranya malam ini.”

Maya memandangku kesal. Mungkin artinya “dasar bodoh, pikun!”

Lalu aku duduk di sebelahnya. Suasana sudah mulai ramai, disebelah kiri Maya semenjak tadi sudah ada Diana, teman satu jurusan kami, Taufan, Widi, Ipul, Nana, Hakim, Wulan, ku lihat satu perstu disekelilingku, dan ternyata di sini tempat teman-teman satu angkatan dan satu jurusan duduk bersilah menikmati alunan musik Padi nanti.

Tahu lah kenapa Maya duduk di sini. Teman-teman kami juga ada di sini. Berkumpul bersama kawan-kawan memang menyenangkan. Acara masih beberapa menit lagi dimulai. Aku melihat ke arah Maya. Matanya tertuju ke satu titik, aku telusuri dari matanya, ku kuti pandangannya hingga ujung titik pandangnya. Endar!! Mata itu tertahan di lelaki kecilnya itu. Dia memakai kemeja hitam, dan menenteng biolanya. Dia terlihat sedang diskusi dengan panitia, mungkin sie acara. Sesekali dia menggesek biolanya, dan kembali berbincang. Sesaat kemudian aku melihat Piyu, Fadli dan kawan-kawan personil Padi yang lain datang dan berada di belakang panggung, kemudian Endar berjabat tangan seperti teman lama. Ditepuk-tepuk pundak Endar, mungkin memberikan semangat dan dukungan atau “selamat bekerja sama.” Terlihat senyumnya mengembang, dan tertawa-tawa ringan. Mereka sudah terlibat dalam latihan selama sehari sebelum menggelar mini konser malam hari ini. Yang aku tahu dari Maya, Endar telah berlatih tanpa Padi sebelumnya, jadi rehersal kemarin hanya mempertemukan mereka dan mematangkan konsep. Begitu katanya di lembaran kertas-kertasnya waktu itu.

Aku kembali melihat raut muka Maya. Walaupun tak tersenyum lebar, matanya memberi tahuku segala yang ia rasa. Seandainya dia penari balet, mungkin malam hari ini dia akan meliuk-liukan tubuhnya, menari menggambarkan kegembiraannya. Jika dia pelukis mungkin dia akan melukis savana yang hijau di Afrika yang berhasil melewati musim panas ganas. Jika dia penyanyi, mungkin dia akan mengeluarkan hasrat senangnya melaui lagu-lagu indah dan alunan suara merdunya. Dan , jika dia bisa berbicara, mungkin dia akan bicara padaku, tanpa sibuk menulis di kertas-kertasnya “Feb, itu Endar!”

Kawan-kawan Maya, tak ada yang tahu, kecuali aku, betapa malam ini begitu istimewa karena Maya jatuh hati dengan Endar. Dan ini kesempatan Maya untuk melihat Endar di hadapannya tanpa sembunyi-sembunyi, walau hanya satu lagu saja. Hanya aku yang tahu perasaan Maya. Aku yang menajdi teman suka duka Maya. aku tahu Endar karena aku mengenal Maya.

Suara riuh penonton menjadi background vokal bagi naynyian tunggal hati maya malam ini. Aku menjadi penonton setia yang menyanyikan ulang lirik-lirik nyanyiannya. Nyanyian yang sepi. Nyanyian perempuan terhadap lelaki muda pujaannya. Nyanyian yang tak pernah diiringi oleh alunan biola yang dibawa-bawa Endar.

3. Nada-nada Biola yang Bergetar

Deni dan Shakina memasuki panggung, acara pun dimulai. Teriakan histeris penonton memenuhi halaman fakultas ini. Deni dan Shakinah membuka acara dengan penuh semangat dan menularkannya kepada seluruh audience. Inilah puncak acara dies natalis fakultas tahun ini. Ini lah acara yang sepertinya hanya Maya yang betul-betul merasakan perbedaan. Dia tak berteriak, dia hanya tersenyum, tertawa-tawa kecil, tapi hatinya sumringah. Matanya yang memberi tahuku, sekali lagi, matanya berbicara banyak. Dia tak sabar menunggu lelaki kecilnya menggetarkan dawai biolanya.

“dan, temen-temen, kalian tahu, malam ini selain ada Padi, juga akan ada special performance dari teman kita sendiri. Sesuatu yang membanggakan sekali.” Kata Deni.

Shakina menimpali.

“ya, betul banget, bagi cewek-cewek, siap-siap aja dibuat klepek-klepek malam ini.”

Disambut gemuruh teriakan suara penonton di depan panggung.

“Malam ini, teman kita akan berkolaborasi dengan Padi, dia akan memainkan biola mengiringi Padi di lagu Mahadewi. Dialah Fabian Endar....”

Kembali suara penonton menggelora dilanjutkan dengan tepuk tangan penonton.

Maya tersenyum melihat ke arahku, di matanya dia bicara “Feb, Endar..”

“May, kamu bahagia malam ini?” tanyaku dengan suara agak keras karena riuh rendah penonton.

Dijawab dengan anggukan Maya.

Suara penonton, dan teriakan histeris seakan tak bisa dibendung ketika personil Padi memasuki panggung. Mereka melambaikan tangan, dan Fadli menyapa penonton yang membuat penonton semakin histeris berteriak.

“halo selamat malam....????” teriak Fadli. “

Malam ini kami hadir di acara dies natalis dan kami akan membawakan lagu-lagu terbaru kami, dan juga kami akan bernostalgia bersama kalian dengan lagu-lagu lawas kami...lagu pertama, Sobat.”

Berpasang-pasang mata menyaksikan, dan berpasang telinga menyimak lirik dan alunan nada-nadanya, membuat detak jantung berdebar bagi sahabat Padi yang rindu mendengarkan komposisi-komposisi manis hasil karya anak-anak manusia ini. Aku menikmati, dan terbawa-bawa kepada kenangan dengan lagu ini di masa SMA dulu. Entah apa yang dirasakan Maya malam ini. Kali ini aku takut menerka perasaannya. Mungkin sedang gundah, mungkin sedang galau, atau menunggu-nunggu lalaki pujaannya.

Lagu kedua, ketiga, tak kalah sambutannya. Masih berkutat dengan lagu-lagu lama mereka. Mungkin para audience juga merasakan apa yang aku rasakan, kembali ke masa-masa lalu, kembali kepada kenangan mereka yang mereka rasakan, yang kala itu, diirngi oleh lagu-lagu ini.

Padi, menyelesaikan tiga lagu berturut-turut. Sorak sorai audience tak henti-hentinya membahana.

“lagu yang keempat, kami akan menambah personil, yang mungkin diantara kalian sudah mengenalnya, bahkan menjadi sahabatnya. Kami akan padukanmusik kami dengan gesekan biola. Langsung saja saya panggil Fabian Endar....!!!”

Fadli memperkenalkan Fabian kepada seluruh audience yang hadir malam ini.

Tak kalah sambutannya dengan Padi. Endar, memasuki panggung, dan aku langsung melihat ke arah kiriku, ke arah Maya. Matanya berbinar, bibirnya membentuk senyum simpul hingga tersenyum lebar tak sanggup menahan rasa bahagianya, ya , walaupun hanya melihat Endar dari kejauhan. Sesekali Maya melihat ke arahku, mungkin menunjukkan bahwa dia benar-benar bahagia malamini.

Suara gemuruh tepuk tangan penonton masih mebahana.

“satu lagu, kami persembahakan bersama Fabian Endar, Mahadewi.” Kata Fadli, diikuti suara gebukan drum yang serta-merta menghentak.

Endar memulai aksinya menggesek-gesek biolanya mengiringi nyanyian Fadli. Lagi, aku lihat ke arah Maya. Dia tak berpaling sama sekali dari pandangnnya. Tangannya menggenggam erat kertas putih itu, matanya tertuju ke panggung, dan entah, mungkin hatinya tercabik-cabik oleh suara biola itu, mungkin hatinya ikut bernyanyi mengikuti nada-nada biola yang bergetar itu, mungkin hatinya serasa dawai biola yang tergesek-gesek itu... dia terbenam dalam-dalam di lagu Mahadewi ini.

Dia tak menulis apa pun di kertasnya untukku, seperti yang biasa ia lakukan untuk menunjukkan apa yang ia rasakan, dia tak bisa diganggu, dia sedang merekam di otaknya dan menyaksikan lelaki kecilnya beraksi, bergumul dengan biolanya di atas panggung. Aku malah melihat Maya, mencoba merasakan apa yang dia rasakan, memang tidak bisa merasakan, tapi paling tidak mengerti apa yang dia rasakan. Sebentar lagi lagu usai dan kesempatan melihatnya sepuas ini akan berakhir, dan sisanya dilakukannya sembunyi-sembunyi di balik tembok-tembok kampus. Aku tak juga mengusiknya.

Lagu usai, diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari audience, sangat meriah, teriakan perempuan-perempuan di belakang, samping kiri, kanan, depan, di mana-mana, mungkin suara perempuan-perempuan yang juga memuji, mencintai Endar.

Tak kudengar teriakan Maya, tak kudengar pula apapun darinya, kecuali hatinya yang masih berbinar dan menyanyi, menyayikan lagu kemegahan yang baru saja usai, dan menyanyikan lagu perpisahan ketika Endar mulai berbalik badan dan meninggalkan panggung. Setelah lagu keempat itu, lagu dengan biola itu, bagi Maya acara ini telah selesai. Sepanjang acara matanya tak selalu tertuju kepada Fadli, tapi matanya kemana-mana mencari sesosok anak manusia pujaannya.

Endar berjalan menuju ke para penonton. Endar berada di belakang kami bersama teman-teman jurusannya. Maya, tak henti-hentinya mencuri-curi pandang ke belakang, melihat ke arah depan lagi, melihat ke belaknag lagi, tak tenang rasanya.

4. Lagu Perpisahan

Padi memungkaskan mini konser di dies natalis fakultasku malam ini dengan lagu pamungkas Kasih Tak Sampai. Lagu ini menyihir semua orang yang ada di sini larut dalam suasana roman lagu, suasana nada yang menyayat hati, yang kata Erwin Gutawa, lagu ini adalah salah satu lagu terbaik yang pernah diciptakan.

Sepertinya Maya menahan tangis, terlihat dari air matanya yang membendung dan berhasil ditahannya, tetap di matanya. Kali ini dia sesekali melihat ke arahku, sesekali juga melihat ke arah Endar yang ada di belakang kami.

Lagu pamungkas telah usai dilantunkan, Padi berpamitan kepada seluruh Sahabat Padi yang hadir malam ini. Padi, menuju mobil dan langsung menuju hotel tempatnya menginap. Maya seakan tak mau berpisah dan tak mau pindah dari tempat duduknya, entah apa yang dia rasakan.

“May, ayo pulang, acarnaya sudah selesai.” Ajak widi.

Maya mengangguk dan beranjak dari tempatnya duduk. Kami semua beranjak keluar kampus berdesakan dengan teman-teman yang lain. Aku memegangi Maya agar tidak terdesak.. Tiba-tiba Maya menarik-narik tanganku, berkali-kali sampai aku sadar ternyat itu adalah panggilan untukku. Aku melihat ke arahnya.

“Ada apa, May?”

Dia melihat ke arahku dan matanya menunjukkanku ke arah sebelah kanannya. Tepat di sebelah kananya, menempel ikut berdesakan bergegas keluar kampus. Endar!!!

Pegangan tangan Maya ke tanganku semakin kencang saja, dan tangannya berubah menjadi dingin. Dia tak berani menengok ke kanan. Aku juga bingung, harus bagaimana, di situasi seperti ini. Aku mendengar Endar bercakap dengan teman-teman yang ada di sebelah-sebelahnya pula. Ada yang memuji-muji performanya tadi. Dan ada yang diam saja menunduk, tak berani menatap ke depan. Maya. Sampai akhirnya tiba di gerbang depan fakultas yang longgar dan hilang sudah manusia-manusia yang berdesak-desakan tadi. Maya kehilangan Endar di pintu Gerbang itu,

Kami berdiri di ddepan gerbang, menunggu suasana tidak terlalu ramai lagi. Motorku terjepit diantara motor-motor yang lain, tak bisa keluar diparkiran. Kami putuskan menunggu sejenak.

5. Bangku Taman di Depan Fakultasku

“kamu kenapa diam saja tadi? Tak melihat ke arah dia sama sekali.”

Maya menulis jawabannya di atas kertas secepatnya.

“kamu bodoh! Aku harus berbuat apa? Teriak-teriak? Menarik tangannya? Bicara saja aku tak sanggup.”

“Bukan begitu maksudku, itu kan kesempatan buat kamu. Tepuk-tepuk pundaknya, dan ucapkan selamat atas penampilannya dengan bahasamu sendiri. Kamu malu bicara dengan bahasamu?”

“tidak”

Dia menulis pendek seperti itu saja. Tak juga menulis jawaban lagi, satu kata pun, kemuidan kami terdiam.

“kamu tunggu di sini, aku mau mengambil motorku. Mungkin sudah bisa keluar dari tempat parkir.”

Maya mengangguk saja. Aku ke tempat perkir dan mencari-cari motorku di mana aku memarkirkannya tadi. Setelah ketemu, susah payah antri untuk dapat keluar dari tempat parkir. Aku menyalakan mesin dan bersiap menjemput Maya. Tidak jauh, Maya terlihat dari tempat parkirku. Urung aku menghidupkan mesin motorku. Aku melihat maya tidak sendiri lagi, entah berapa lama. Dia dengan seseorang, aku tak yakin, dia membawa tas biola. Endar kah dia? Tapi kenapa dia berdiri di situ? Ya, aku yakin sekali dia Endar. Kalu dia berdiri di situ, biasanya dia menunggu jemputan. Rupanya dia tak bersama teman-temannya tadi.

Maya. Apa yang dilakukan Maya jika dia berdua seperti itu? Dia menunduk tak berkutik. Tangannya mengepal-ngepal kertas putihnya pertanda dia sedang gugup. Aku pandangi lama sekali mereka pada posisi seperti itu. Suasana sudah mulai sepi.

Aku lihat Maya masih menunduk, tak bergeming, begitu pula dengan Endar. Aku tak mau menjemput Maya. Biar saja dia berdua walaupun dalam diam. Lama sekali. Sesekali Endar terlihat menelepon, mungkin menelepon orang yang akan mejemputnya. Sementara Maya, terlihat diam, sesekali melihat ke aerah parkiran mungkin bertanya-tanya kenapa aku lama sekali.

Aku masih mengawasi mereka dari belakang. Aku melihat Endar sepertinya menanyai sesuatu kepada Maya. Ah, mereka sudah memulai percakapan. Apa yang sedang dirasakan Maya? Bagaiman dia di sana? Pertanyaan itu berkecamuk di otakku. Sebagagia apa dia di ujung sana?

Aku lihat Maya menjawabnya dengan anggukan kepalanya. Kemudian Maya menunduk lagi dan sepertinya menulis sesuatu. Maya duduk di bangku taman di bawah lampu yang menerangi malam itu untuk menemukan posisi menulis yang nyaman di depan fakultasku. Terlihat maya terburu menulis sesuatu.

Maya tiba-tiba memberikan secarik kertas putih itu kepada Endar, yang masih berdiri di sebelah kursi taman itu. Aku sangat terkejut, aku tak percaya, Maya telah berani melakukannya. Entah dengan bahasa apa dia memanggil Endar yang berdiri di sebelah kursi taman panjang yang ia duduki itu. Atau keberanian macam apa yang dia punya kini. Aku penasaran sekali dengan isi percakapan di kertas-kertas putih itu. Aku melihat mereka dari kajauhan.

Aku lihat Endar, kemudian membaca isi kertas putih itu, lalu memandang ke arah Maya. Kemudian dia menaruh tas biolanya, dan duduk di kursi yang sama dengan Maya, dan menulis sesuatu. Endar membalasnya. Kemudian yang terjadi saling balas-membalas percakapan lewat kertas-kertas putih itu. Sesekali Endar tersipu, tersenyum setelah membaca tulisan dari Maya. Maya tak kalah bahagianya. Sejurus kemudian Endar menulis balasan yang kesekian kali dan memberikannya ke Maya. Tetapi, seketika itu mobil jemputan Endar tiba, maya tak sempat menyelesaikan tulisannya, Endar berpamitan. Mereka bersalaman dan Endar masuk ke mobil. Entah percakapan apa yang mereka ucapkan selama perpisahan itu. Maya berdiri dari kursinya dan melambaikan tangan ke Endar.

Segera aku menghidupkan motorku dan menuju ke arah Maya. Sesampainya di depan Maya, senyumnya mengembang, matanya berbinar menggantikan bintang-bintang malam itu yang redup-redup. Wajahnya bahagia sebahagia bulan malam yang muncul penuh-penuh. Hatinya telah berada di puncak langit bahagia tak berujung. Aku merasakan betapa bahagianya dia. Aku balas senyumnya, dan kusuruh dia naik ke atas motorku dan aku antar dia pulang.

Aku membaca tulisan-tulisan tangan yang mereka buat di depan gerbang, di bangku taman di bawah sinar lampu itu, tulisan tangan percakapan mereka. Maya memperlihatkannya kepadaku di depan rumahnya, sebelum aku beranjak pulang.

“Aku wanita bisu, aku tak sanggup bicara, atau memakai bahasaku, yang tak kau mengerti. Selamat ya, tadi permainan biolamu bagus. Benar-benar memukau.”

“Jadi dengan cara ini kau berbicara? Aku juga terkesan. Oh iya, terimakasih. Terimaksih atas pujiannya. Masih harus banyak belajar, tidak seberapa. Aku Endar. Kamu kakak angkatanku kan?”

“aku Maya. Iya, aku kakak angkatanmu. Senang berkenalan denganmu, Endar.”

“kamu menunggu siapa di sini?”

“aku menunggu sahabatku, dia mau mengantarku pulang. Kamu?”

“aku menunggu ayahku. Aku dijemput ayahku.”

“Endar, aku....

Belum selesai tulisan itu membentuk kalimat-kalimat di atas kertas putih itu, tiba-tiba endar memotong.

“kak Maya, ayahku sudah tiba. Kapan-kapan kita ngobrol lagi.”

Maya yang sedang menulis menyelesaikan balasan tulisan endar, berhenti tiba-tiba dan melihat ke arah Endar yang sedang berdiri dan membawa tas biolanya yang tersandar di kakai kursi taman itu. Seperti biasa, Maya menganggukan kepala, terkejut, tiba-tiba saja harus berhenti. Endar pergi dari hadapannya, membuka pintu mobil di depannya.

“kak Maya, dijemput temenmu kan?”

Maya mengangguk.

“Baiklah, selamat menunggu, aku pulang duluan. Selamat malam.”

Maya mengangguk lagi, kali ini sembari tersenyum simpul. Matanya mengikuti laju mobil putih Endar, samapi hilang di ujung jalan itu, hilang oleh kabut malam.

Yang tersisa di otaknya hanya bunyi dawai-dawai biola itu, dan yang digenggamnya kini kertas putih yang tidak bersih lagi, kini kertas itu penuh dengan coretan-coretan tangannya dan Endar lelaki kecil pujaannya. Biola itu berdawai dan menyisakan gesekan nada-nada indah di bangku taman di depan gerbang fakultasku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun