Oktober cerah, Labuan Bajo gerah.
Begitu status Facebook tetanggaku menggambarkan kondisi kota saat ini. Aku pun kepincut untuk mengomentarinya dan ingin menulis "gundah", tapi tak sempat.Â
[Sementara itu notif SMS dari Bapak masuk]
"Anak, harga cengkeh turun lagi. Bapa tadi su pulang tanya ditoko" begitu pesannya
"Aduh mama sayang ee. Turun lagi kah? Biar su bapa, disimpan sa dulu. Torang (kita) tunggu harga terbaik sa baru kas lepas," balasku
Setelah itu tidak ada lagi SMS balasan dari Bapak. Beliau kecewa, itu pasti. Aku tertegun, sedikit murung membayangkan betapa rumitnya harga cengkeh yang cenderung fluktuatif satu triwulan terakhir ini.
Sudah jadi kosekuensi logis memang bahwa setiap kali masa panen cengkeh tiba, harga di pasaran juga pasti menurun. Terlepas dari masa panen raya maupun sedang. Kultusnya memang seperti itu.
Masa panen cengkeh produktifnya dilakukan pada bulan Juli hingga September. Dalam periode tersebut, penawaran harga yang sampai ke petani pun jauh dari teori kemakmuran.Â
Tapi ya mau bagaimana lagi, dusta para tengkulak ini selalu menyasar para petani kecil. Petani kecil inilah yang selalu berhasil mereka 'kibuli', mengingat lahannya kecil dan modalnya juga sedikit.
Lalu bagaimana dengan petani besar? Dalam kondisi ini petani besar sedikit beruntung. Kendati selain memiliki lahan/kebun cengkeh yang besar, modal untuk membiayai masa panennya juga lebih dari cukup.
Sehingga kecenderungannya, petani cengkeh besar baru akan menjual hasil panennya ketika harga yang ditawarkan para tengkulak sesuai dengan ekspektasi. Dan bila perlu memilih untuk menyimpan hasil panennya terlebih dahulu dalam waktu yang lama sembari menunggu harga yang baik di pasaran.
Memang, secara nasional harga cengkeh dari tahun ke tahun trennya turun melulu. Terkhusus di Manggarai Raya, banyak petani cengkeh yang pasrah dan tetap menjual hasil panennya meski dengan harga murah.