"Duc In Altum..(Bertolaklah ketempat yang paling dalam)" ..(Lukas 5:4).
Kompasiana adalah media warga, seperti yang tertera di WikipediA. Maka dari itu sebagai sesama warga di Kompasiana, saya perlu "say hello" (jawabnya dalam hati saja) terlebih dulu untuk menyapa seluruh warga yang mendiami reksa wilayah Kompasiana.
Duc In Altum, adalah bunyi perikob Injil Lukas dalam kitab suci. Ayat ini sengaja saya kutip untuk didaraskan kepada #11 tahun Kompasiana. Ayat ini juga yang menurut saya sangat relevan untuk kita warga kompasiana agar bersama-sama menjaga rumah literasi yang sangat kita cinta ini.
Kompasiana sebagai media, saya ibaratkan seperti kehidupan kita manusia pada umumnya, yang syarat misterius dan secara terus menerus perlu dicari jawabannya. Sering tidak kita ketahui dengan pasti kemana media/kehidupan ini akan bergerak dan berhenti dititik apa.
Dunia yang terus bergerak maju dan berkembang, setiap hari kita disuguhkan dengan perubahan yang semakin tak terbendung. Kondisi ini memang secara tidak langsung memberi tanda bahwa kita harus berlari kencang untuk mengikutinya, menyesuaikan diri dan berjuang untuk mengikuti arus perubahan yang dimaksud.
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Untuk menantang seluruh arus perubahan yang dihadapi secara spirit berpikir maupun aksi nyata yang dilakukan. Kita membutuhkan kompas pengarah pribadi yang baik untuk itu. Kita juga memberanikan diri untuk mampu melihat dan memahami apa yang terjadi dihadapan kita dan apa yang akan terjadi diwaktu sekarang dan waktu yang akan datang.
"Duc In Altum!" Bertolaklah ketempat yang paling dalam. Begitu kata Yesus dulu kepada para muridNya yang sedang menjala ikan didekat bibir pantai.
Mengapa(Kompasiana/Kompasianer) perlu bertolak ketempat yang paling dalam? Karena bila kita menebarkan jala di tempat (laut) yang dalam niscaya kita meraup lebih banyak ikan.
Jika hanya merayap-rayap ditengah gelembung ombak yang pecah dibibir pantai kita hanya berjumpa dengan ikan-ikan sejenis teri.
Sering kita heboh dengan berbagai isu publik lalu lupa menggendor diri sendiri agar bangkit dari kejatuhan, keluar dari kemelut, dan bebas dari keterikatan yang tidak sehat. Kita hebat melontarkan kritik sana sini, sementara diri kita sendiri dibiarkan terkungkung dalam "sabotase diri" berupa sikap malas, hidup tak beraturan dan teratur.