Pembagian peran itu hanya bertujuan tunggal yakni bagaimana kebutuhan material tiap warga negara terpenuhi. Di sinilah keadilan menurut Plato dapat dipahami. Keadilan dalam hidup bersama demi kepentingan survival itu tercipta ketika masing-masing warga negara bertanggung jawab dengan perannya masing-masing sekaligus membatasi dirinya hanya dalam peran tersebut.
Namun, kehendak Plato untuk spesialisasi yang begitu ketat itu membuat ia jatuh pada suatu bentuk pemerintahan yang otoriter dan menyampingkan aspek-aspek lain di luar ekonomi. Plato misalnya menginginkan seorang tukang sepatu hanya fokus pada pekerjaannya membuat sepatu guna menyuplainya bagi semua yang membutuhkan. Konsekuensinya, ia tidak boleh kawin.
Ada orang-orang pilihan yang ditugaskan untuk kawin yang setelah melahirkan bayi, mereka tidak bertanggung jawab memeliharanya. Anak-anak itu diputuskan tali emosinya dari orangtua biologisnya dan diserahkan ke negara untuk memeliharanya. Apakah negara seperti yang diidam-idamkan Plato itu mungkin terwujud? Apakah pemenuhan kebutuhan material membuat manusia sudah tenang dan puas?
Bukankah ada nilai-nilai penting seperti psikologi, sosial, budaya, spiritual dll. yang berjalan bersama ekonomi? Keberatan terhadap Plato muncul sebagai reaksi terhadap pemutlakkan nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan bersama pada suatu negara sedemikian sehingga jatuh pada bentuk pemerintahan yang otoriter. Aristoteles (384-322 SM): Tujuan Hidup Bersama Aristoteles memperkenalkan teori politik yang berbeda dari Plato, gurunya sendiri.
Ia menyangkal Plato bahwa hidup-bersama adalah demi dorongan survival semata, hasil suatu konstruksi. Menurutnya, hidup bersama merupakan suatu keniscayaan dari kodrat manusia sebagai makluk politis. Sebetulnya tentang asal-usul negara, pandangan Aristoteles lebih kompleks ketimbang Plato.
Ia memerinci hakikat manusia sebagai makhluk politis, membedakan ruang publik dan ruang privat yang daripadanya kita mengerti perbedaan antara politik dan ekonomi. "Manusia adalah makhluk politis (political animals)" merupakan suatu penegasan sentral dari Aristoteles. Hal itu bertolak dari kenyataan bahwa manusia memiliki kapasitas intelektual. Ia bisa berpikir dan memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Hakikat dasar itulah yang membuat manusia secara alamiah ingin hidup bersama orang lain sebab berdiskusi tentang nilai-nilai, mengungkapkan penilaian yang merupakan bagian dari aktivitas pikiran dan berbahasa hanya mungkin ketika ada bersama orang lain. Kondisi dasariah bahwa setiap manusia selalu ada bersama orang lain bukan tanpa maksud.
Sebagai makhluk politis yang diperlengkapi kapasitas intelektual, manusia sebetulnya bukan saja ingin mempertahankan hidup, tetapi ia juga ingin hidup yang lebih baik. Hidup bersama adalah demi kebahagiaan. Bahwa seorang manusia dapat bertahan hidup diakui oleh Aristoteles. Namun keberadaan manusia bukan untuk survival saja, tetapi terlebih demi kebahagiaan. Kebahagiaan hanya bisa tercapai ketika ada bersama orang lain.
Di sini kelihatan bahwa Aristoteles mempunyai definisi tersendiri tentang kebahagiaan. Kebahagiaan tidak lain adalah usaha memaksimalkan kemampuan rasio manusia. Usaha itu dilakukan melalui diskusi-diskusi tentang nilai-nilai baik-buruk, adil-tidak adil, keutamaan-keutamaan, dan menjalankan hidup bersama nilai-nilai moral tersebut. Inilah persoalannya.
Politik dibatasi pada diskusi-diskusi dan pertimbangan nilai-nilai moral serta kebebasan manusia sebagai makhluk rational. Sedangkan ekonomi tidak menjadi bagian dari perbincangan dalam suatu komunitas politik. Ekonomi berada dalam ruang privat yakni keluarga, bukan ruang publik. Ini berbeda dengan Plato yang melihat otonomi dan dorongan survival terjadi dalam ruang publik (polis) melalui pembagian peran dan tanggung jawab.
Sebaliknya Aristoteles melihat pembagian peran hanya terjadi dalam keluarga. Suami lebih superior dari anak dan istri, tuan rumah dan hamba. Perbedaan hubungan itu saling mengisi satu sama lain demi suatu kemandirian ekonomi dalam keluarga. Sementara dalam urusan politik semua setara.