Mohon tunggu...
Komnas Haji Indonesia
Komnas Haji Indonesia Mohon Tunggu... lainnya -

Komnas Haji Indonesia dibentuk untuk mendorong profesionalisme, akuntabilitas, tranparansi dalam penyelenggaraan haji dan umroh. Selain itu kami juga melakukan kegiatan advokasi terhadap hak-hak jamaah haji dan umroh. Bila ada pembaca kompasiana memiliki masalah/persoalan/keluhan terkait penyelenggaraan haji dan umroh silahkan email ke:komnashaji@yahoo.com atau sms ke 0812 89777 307 kami akan tindaklanjuti.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hak Layanan Transportasi bagi Jamaah Haji dan Umroh

29 Januari 2014   14:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aspek Hukum Transportasi Udara Jemaah Haji Indonesia,salah satu buku berisi informasi yang penting diketahui jemaah haji ini. Di dalamnya berisi informasi padat tentang regulasi, reguler maupun jalur khusus. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan payung hukum dari layanan haji dan umroh (hal 1).

Penulis buku ini kemudian memberikan penekanan khusus dalam pembahasan tentang hubungan hukum antara jemaah haji dengan maskapai yang ditunjuk pemerintah, yang mengangkut jemaah haji dari embarkasi ke debarkasi dan sebaliknya. Dari sinilah kemudian muncul hak dan kewajiban antara jemaah haji dan penyedia transportasi. Kedua pihak harus tunduk pada berbagai konvensi internasional.

Berdasarkan konvensi Warsawa, jemaah haji memiliki hak cukup banyak yang bisa dimintakan kepada perusahaan penerbangan, baik yang ditunjuk pemerintah Republik Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi.

Jemaah haji berkewajiban membayar sejumlah biaya kepada penyelenggara transportasi udara. Sebaliknya, perusahaan penerbangan berkewajiban memberikan ganti rugi apabila terjadi kecelakaan, kerugian atau sampai meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, bagasi dan/atau kargo hilang, rusak, hancur, keterlambatan transportasi, besaran ganti rugi dalam hal meninggal dunia, luka, kargo rusak atau hilang (hal 228).

Di samping itu, jemaah haji juga berhak tahu bandar udara embarkasi, debarkasi, persiapan apa saja yang dilakukan menjelang embarkasi atau debarkasi sehingga dapat memperlancar perjalanan.

Kemudian, jemaah haji juga berhak mengetahui pelayanan yang harus diterima jamaah sebelum keberangkatan, selama penerbangan berlangsung, maupun setelah penerbangan.

Pelayanan itu meliputi kesehatan, konsumsi, fasilitas, keamanan yang diperlukan selama penerbangan dan sebagainya. Selain harus taat pada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan transportasi udara, jemaah haji juga wajib patuh hukum insternasional (hal xiii). pemerintah Indonesia dam Arab Saudi sudah meratifikasi Konvensi Warsawa.

Tujuan dari berbagai kewajiban ganti rugi yang dipikul perusahaan penerbangan sesungguhnya ingin memastikan agar perusahaan penerbangan secara profesional benar-benar menjaga keselamatan jemaah haji dari Indonesia- Arab Saudi, dan kembali lagi ke tanah air. Jika jiwa dan barang bawaan mereka tidak selamat, perusahaan penerbangan pengangkut menanggung ganti rugi.

Pertanyaannya, sejak kapan maskapai penerbangan memiliki tanggungjawab terhadap jemaah haji? Sebab dalam Konvensi Warsawa sendiri memberikan celah multitafsir yang bisa berakibat pada ketidakpastian hukum. Menurut penulis, bila ada perkara samacam ini yang masuk ke pengadilan, maka hakimlah yang berhak memberi tafsir (rechtvinding).

Selama ini ada hakim yang berpendapat, tanggungjawab perusahaan dimulai sejak penumpang melapor ke embarkasinya (chek-in) sampai turun dari pesawat (debarkasi) atau keluar dari gedung terminal (hal 235).Di Indonesia ada hakim yang menafsirkan tanggungjawab perusahaan penerbangan mulai berlaku sejak dari ruang tunggu (waiting room) sampai masuk ke dalam pesawat udara (boarding) dan sejak turun pesawat udara (debarkasi) sampai ruang tunggu pengambilan bagasi (hal 236).

Berdasarkan Konvensi Warsawa, besaran ganti rugi terhadap calon jamaah haji yang meninggal mencapai 125.000 gold franch. Jika perusahaan penerbangan terbukti sengaja melakukan kesalahan, mereka dapat dikenai tanggungjawab tidak terbatas (unlimited liability). Contohnya, tidak menyediakan jaket pelampung atau alat-alat pertolongan pertama akan kecelakaan (hal 239).

Meski demikian, tidak semua kesalahan bisa dibebankan kepada perusahaan transportasi. Penyedia transportasi dapat menghindarkan diri dari ganti rugi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerusakan, kehilangan, luka atau kematian terjadi akibat kelalaian, kesalahan, dan kontribusi dari penumpang sendiri.

Kemana jamaah haji bisa menggugat? Konvensi Montreal 1999 menggariskan, gugatan itu bisa diajukan ke pengadilan di mana perusahaan penerbangan berdomisili, kantor pusat maupun perwakilan. Yang terpenting negara tersebut sudah meratifikasi Konvensi Montreal 1999.

Bukuyang ditulis HK Martono Guru Besar Universitas Tarumanagaradan Ahmad Sudiro Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara ini menyajikan informasi tentang aspek hukum (normatif) terkait transportasi udara yang digunakan jamaah haji. Karena itu wajib dibaca bukan saja oleh jamaah haji, calon jemaah haji, tetapi akademisi, para pemangku kepentingan, dan masyarakat luas.

Karya kedua pakar hukum transportasi udara ini bisa disebut sebagai karya rintisan yang patut diapresiasi dan dilanjutkan dengan pembahasan yang tidak hanya dimonopoli dimensi normatinya. Aspek-aspek lain yang terkait langsung dengan realitas yang terjadi di masyarakat juga patut dielaborasi. []

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun