Benar, hari ini 13 Juni. Artinya, sepuluh hari telah berlalu sejak batas akhir sayembara cerpen horor mandarin yang diselenggarakan oleh komunitas Pulpen di Kompasiana, asuhan Bang Horas.
Sebanyak 21 tulisan yang ikut lomba. Berasal dari 14 penulis. Semuanya keren. Sayangnya, hanya ada tiga cerpen terpilih yang berhak bawa pulang novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka, karya Acek Rudy. Plus, salah satu yang terbaik akan mendapatkan bonus tambahan berupa saldo Go-Pay sebesar Rp100.000.
Tentu, ada yang penasaran, bagaimana cara aku, sebagai juri, menentukan pemenang. Jujur, sulit. Jangankan menentukan tiga terbaik, untuk lima yang terbaik saja, getaran hati dan keringat basah sudah bercampur bak es teler. Eh...
Jadi, sekalian aja, ya.
Meski ada frasa keputusan juri tidak bisa diganggu gugat, tetapi tidak ada salahnya membuat review, sekaligus alasan mengapa ada pemenang dan ada yang belum jadi juara.
Selera tentu menjadi dasar utama pertimbangan. Meski demikian, ada juga beberapa faktor lainnya yang harus dipatuhi. Terutama dari sisi tema utama: Cepen horor mandarin. Saya dan Bang Horas sudah sepakat, bahwa cerpen yang disertakan harus berdasarkan budaya, mitos, legenda, dan/atau tradisi Tionghoa.
Dengan demikian, aturan ini jelas.
Sayangnya, beberapa cerpen yang disertakan dalam lomba ini tidak sesuai dengan persyaratan utama. Ada yang hanya menggunakan tokoh orang Tionghoa, tanpa memasukkan unsur budaya, tradisi, mitos, ataupun legenda yang cukup kuat untuk memajukan plot. Sebaliknya, beberapa lagi memiliki unsur budaya dan tradisi Tionghoa yang kuat, tetapi yang ditulis bukan cerpen, melainkan artikel non-fiksi.
Sayang, sungguh sayang.
Nah, daripada penasaran, saya berikan saja review singkat untuk lima cerpen terbaik. Biar ada gambaran, seperti apakah cerpen yang baik versi diriku, sebagai juri.